SURABAYA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung langkah Pemerintah Kota Surabaya membangun fasilitas pengelolaan limbah medis. Hal itu didasari atas volume limbah medis di Indonesia yang tak sebanding dengan fasilitas pengelolaannya.
Kepala Seksi Pengolahan Limbah B3 KLHK Sortawati Siregar mengatakan, rencana Pemkot Surabaya membangun pengelola limbah medis secara aturan tidak ada masalah jika pemkot ingin membangun pengolahan limbah B3 di Surabaya.
”Saat ini memang volume limbah medis tidak seimbang dengan fasilitas pengolahan sehingga pemerintah daerah berinisiatif menyediakan fasilitas pengolahan,” katanya di Surabaya, Selasa (4/12/2018).
Menurut Sortawati, jumlah rumah sakit di Indonesia kini lebih dari 2.800. Berdasarkan data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), sebanyak 98 rumah sakit memiliki izin pengolahan limbah medis menggunakan insinerator dan autoklaf. Sementara jasa pengelola limbah dari pihak swasta hanya enam.
”Maka dari itu, kami sangat mendukung langkah Pemkot Surabaya membangun pengelolaan limbah B3, dan kami memberi masukan agar dibentuk BUMD atau UPTD,” ujar Sortawati.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya Febria Rachmanita menyampaikan, rencana Pemkot Surabaya untuk membangun pengelolaan limbah medis di Surabaya akan berlanjut. Bahkan, ujarnya, pihak KLHK akan membantu dalam proses perizinan.
”Rencananya dalam waktu dekat KLHK akan membantu pemkot dalam proses perizinan,” kata Febria.
Menurut dia, kebutuhan pengelolaan limbah medis di Surabaya sangat mendesak. Selama ini, Pemkot Surabaya menggandeng swasta untuk masalah penanganan limbah medis, mulai dari proses pengiriman hingga pengelolaan.
Namun, hal itu pastinya dengan menggunakan biaya besar, yakni biaya pengelolaan limbah medis dari 59 rumah sakit di Surabaya dalam tiap tahun mencapai Rp 1 miliar. ”Selama ini menggunakan jasa swasta, dan itu tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan dalam tiap tahun hampir Rp 1 miliar,” ucap Febria.
Ia mengungkapkan, setiap hari limbah rumah sakit di Surabaya mencapai 8.000 kilogram. Jika dalam sebulan dikalikan bisa mencapai sekitar 240.000 kilogram. Karena itu, kebutuhan pengelolaan limbah medis di Surabaya dinilai sangat mendesak.
”Pihak KLHK juga telah mendukung pemkot untuk membangun pengelolaan limbah medis, prinsipnya juga harus sesuai dengan pusat,” ucap Febria.
Ia menambahkan, pihak KLHK menyarankan agar pengelolaan limbah medis di Surabaya dibentuk unit pelaksana teknis dinas (UPTD). ”Pihak KLHK menyarankan membentuk UPTD dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sepakat,” ujarnya.
Pada November 2018, Risma mengungkapkan kekhawatirannya terhadap limbah medis di kota ini. Kondisi limbah medis di Surabaya dinilai sangat membahayakan bagi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan, apalagi limbah medis lebih berat penanganannya dibandingkan limbah sampah.
Menanggapi keluhan Risma, perwakilan Pemerintah Kota Kitakyushu, Jepang, siap membantu pengolahan limbah medis di Surabaya dalam waktu dekat. Jadi, pengolahan limbah medis akan dikerjasamakan dengan kota Kitakyushu sehingga pemkot mendapat bantuan ahli mulai dari pembangunan hingga pemasangan.
”Namun, ada transfer knowledge agar Pemkot Surabaya bisa mengoperasikannya sendiri,” kata Risma.
Agar di kemudian hari tidak ada pihak yang disalahkan selama proses pembangunan limbah medis, Risma juga melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuannya, untuk mengawasi proses pembangunan sejak awal hingga selesai.
”Untuk pencegahan supaya tidak ada masalah saat proses pengerjaan dan KPK sudah siap membantu,” ucap Risma.
Sementara itu, perwakilan perusahaan Nishihara, Shiho, menambahkan, pihaknya telah memberikan gambaran terkait titik transpor dan pembuangan limbah medis. Lebih lanjut, ia menawarkan tiga cara teknologi untuk menangani limbah medis kepada Pemkot Surabaya.
Melihat keseriusan Pemkot Surabaya, Shiho optimistis pengelolaan limbah medis yang akan dibangun di Tambak Osowilangon ini akan berjalan dalam waktu dekat. Alasannya, biaya sudah dihitung secara rinci dan data sudah dianalisis. Jika tidak ada halangan, pengerjaan dimulai pada awal atau pertengahan 2019 dan ini bisa menjadi percontohan pertama di Indonesia.