YOGYAKARTA, KOMPAS—Masyarakat dalam kelompok usia muda menjadi yang terbanyak terkena penyakit HIV/AIDS. Kondisi tersebut memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Keluarga hendaknya menjadi benteng pertama dan utama guna mencegah seseorang tertular penyakit tersebut.
Pada 2018, menurut data dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai dari Januari-Juni, usia 20-29 menjadi yang terbanyak terkena HIV/AIDS, dengan jumlah 1.402 orang. Terbanyak kedua adalah mereka yang berusia 30-39, yaitu 1.299. Ketiga, kelompok usia 40-49 dengan jumlah 746 orang. Semuanya merupakan kelompok usia produktif. Jumlah itu merupakan jumlah kumulatif sejak 1993 HIV/AIDS ditemukan pertama kalinya di Yogyakarta.
Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Setyarini Hestu Lestari tidak memungkiri hal itu. Ia menduga, terdapat aktivitas berisiko yang dilakukan oleh mereka yang berada di kelompok usia muda itu.
“Ini yang harus kita waspadai. Ada faktor risiko yang dilakukan oleh anak-anak di usia-usia itu,” kata Setyarini, saat dihubungi dari Yogyakarta, Minggu (2/12/2018).
Rini menjelaskan, faktor-faktor risiko yang menyebabkan seseorang bisa terkena penyakit tersebut antara lain hubungan seksual dengan lawan jenis, sesama jenis, hingga penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Saat ini, penularan penyakit melalui hubungan seksual menjadi yang faktor risiko tertinggi.
Sebanyak 2.464 orang tertular penyakit tersebut melalui hubungan seksual dengan lawan jenis. Lalu, sebanyak 759 orang tertular penyaktit itu melalui hubungan seksual dengan sesama jenis. Sementara, yang tertular lewat penggunaan jarum suntik itu sebanyak 272 orang.
Penanggulangan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia DIY Gama Triono menyampaikan, terserangnya kelompok usia muda oleh penyakit tersebut harus menjadi catatan tersendiri, baik bagi pemerintah maupun para aktivis HIV/AIDS. Ia menilai, upaya penanggulangan yang dilakukan masih belum cukup komprehensif.
“Melihat skala pengetahuan masyarakat terkait HIV sudah cukup baik. Virus, penularan, dan lain sebagainya mereka sudah tahu. Tetapi, mendorong anak muda, masyarakat, untuk mau melakukan tes ataupun perlindungan dini masih kurang,” kata Gama.
Terkait hal itu, Rini mengungkapkan, pemerintah daerah telah menyediakan layanan pemeriksaan HIV di setiap puskesmas. Namun, kemauan untuk memeriksakan diri, terutama bagi masyarakat yang mempunyai faktor risiko itu menjadi kunci pencegahan dan penanggulangan terhadap penyakit itu. Terlebih lagi dengan adanya fakta bahwa kelompok usia muda mulai terjangkit penyakit itu.
“Tentu kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri secara mandiri sangat diperlukan. Hal ini bisa mencegah agar penyakit tidak semakin parah karena virus bisa ditekan dengan pengobatan yang rutin sesuai anjuran dokter. Kerja sama dengan instansi lain untuk pendidikan reproduksi kepada pelajar juga penting agar upaya pencegahan kian efektif,” kata Rini.
Sementara itu, Gama berpendapat, keluarga menjadi benteng utama bagi individu untuk melakukan pencegahan mengingat kelompok usia produktif mulai terserang penyakit tersebut. Setiap individu pun diharapkan untuk secara aktif memperkaya pengetahuan dirinya tentang pendidikan kesehatan reproduksi.
“Bagaimana tahu betul virus ini menular, bagaimana harus menjaga diri, pengetahuan ini yang menjadi penting dalam upaya pencegahan,” kata Gama.