Hutan Dataran Rendah Sumsel Terancam Jalan Tambang
Oleh
Rhama Purna Jati
·2 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk menolak rekomendasi izin pembangunan jalan tambang di dalam hutan dataran rendah terakhir di Sumsel. Pembangunan jalan tambang ini dikhawatirkan akan berdampak pada kerusakan hutan.
Lokasi jalan tambang yang diusulkan menghubungkan tambang batubara di Kabupaten Musi Rawas Utara menuju stockpile yang berada di Desa Pulau Gading, Kecamatan Banyung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, sejauh sekitar 40 kilometer. Jalan tambang tersebut akan melewati lanskap hutan Sungai Kapas dan Sungai Meranti di wilayah Sumsel serta di lanskap hutan Sungai Kandang dan hulu Sungai Lasian, Jambi.
Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Jumat (30/11/2018) di Palembang, mengatakan, pembangunan jalan tambang ini perlu dipertanyakan, pasalnya di dekat lokasi pembangunan tersebut sudah ada jalan milik perusahaan hutan tanaman industri (HTI). ”Entah apa motif pembangunan jalan tambang itu,” ucap Aidil.
Menurut dia, pembangunan jalan tambang dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup flora dan fauna yang ada di dalam hutan. Hutan yang akan dilalui jalan tambang ini masih sangat bagus, bahkan masih banyak satwa liar yang hidup di dalamnya, seperti harimau sumatera, tapir, gajah sumatera, dan sejumlah satwa lain.
Aidil khawatir, jika rencana itu terealisasi, akan menghancurkan keberlangsungan hidup satwa dan hutan menjadi rusak. ”Belum ada jalan tambang saja sudah banyak orang yang merambah hutan, apalagi ketika ada jalan tambang, keadaan hutan akan lebih buruk lagi,” ucap Aidil.
Pembangunan jalan tambang dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan hidup flora dan fauna yang ada di dalam hutan.
Pemerintah perlu berkaca pada pembangunan jalan milik perusahaan HTI yang ada di Sungai Badak yang berdampak pada rusaknya tutupan lahan akibat perambahan.
Saat ini, rekomendasi pembangunan jalan tambang berada di tangan KLHK. ”Kami berharap KLHK menolak rekomendasi tersebut,” lanjutnya.
Selain merusak satwa dan tanaman yang ada di kawasan itu, pembuatan jalan tambang juga akan mengganggu kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Anggota Yayasan Depati, Ali Goik, menerangkan, sampai saat ini masih ada kelompok Suku Anak Dalam yang tinggal di kawasan hutan tersebut. Mereka bekerja mencari madu dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu untuk keberlangsungan hidup mereka. Saat banyak perambahan, tentu mereka akan terusir dari tempat tinggalnya.
Aidil mengatakan, dari hasil kajian dan penilaian yang telah diperbarui pada 2017, diketahui bahwa lanskap hutan di perbatasan Sumsel-Jambi memiliki luas 100.000 hektar. Sekitar 20.000 hektar di antaranya mengalami kerusakan. ”Kalau jalan tambang bisa masuk, tentu kerusakan akan lebih parah,” ujarnya.