Sebagian warga penyintas gempa Sulawesi Tengah mulai berpikir menjual rumah dan tanah mereka atau pindah ke lokasi yang dianggap lebih aman. Meski demikian, mereka juga pesimistis asetnya ini terjual cepat.
Akbar, warga Sigi, Kabupaten Sigi, yang rumahnya berjarak 400-500 meter dari kawasan yang tersapu likuefaksi di Petobo, Kamis (29/11/201), mulai berpikir untuk menjual rumahnya. Tidak hanya rumahnya, tetapi juga rumah ibunya yang bersebelahan dengan rumahnya. Lokasi rumahnya hanya 400-300 meter dari kawasan Petobo yang tersapu likuefaksi.
“Kalau harga pasaran normal, mungkin bisa terjual Rp 200-an juta. Tetapi enggak tahu kalau sekarang pascagempa. Orang yang mau beli, kalau pun ada, juga pasti bukan warga yang hendak membangun rumah. Paling juga untuk lokasi kandang ternak. Saya mau pindah ke lokasi lain,” kata Akbar.
Rumah Akbar yang bertipe 70 ini, sebenarnya belum jadi. Rumah bertembok batako ini, pengerjaannya baru separuh jalan. “Terkena gempa, sebagian tembok ambruk. Tanah jadi enggak rata. Bisa dibilang, ya sudah enggak mungkin saya lanjutkan pembangunan rumah saya ini,” ujar Akbar, yang adalah staf PNS ini.
Erna, warga Jalan Karanja Lembah, Kabupaten Sigi, mengatakan, beberapa waktu terakhir mulai berpikir kemungkinan untuk pindah rumah. Sejak terguncang gempa, dan tahu bawah rumahnya tidak lebih 1 km dari lokasi terdampak likuefaksi, Erna mengaku trauma. Pascagempa akhir September lalu, Erna sempat mengungsi ke Balikpapan.
“Saya dan suami sudah berkali-kali membahas soal kemungkinan pindah, berkali-kali. Kami pindah saja ke lokasi lain di Kota Palu, yang sekiranya aman,” kata Erna, karyawan swasta ini. Rumah Erna yang bertipe 36 ini, harga normalnya Rp 120-Rp 150 juta. Namun Erna pesimistis bisa terjual dengan harga normal.
Bekti (50), warga Kawatuna, Kota Palu, juga berpikiran pindah. Rumahnya sudah nyaris ambruk terhantam gempa. Hanya bagian dapur yang relatif masih utuh karena bangunannya terbuat dari kayu. Bekti dan keluarganya kini menempati dapur, menumpuk semua barang di sana.
“Merenovasi rumah, sepertinya juga makan banyak biaya. Pilihan terbaik pindah, dan sebelumnya menjual rumah. Trauma. Namun siapa yang berpikir untuk membeli? Saya saja juga enggak punya uang jika untuk beli rumah,” ujar lelaki yang sehari-hari berjualan nasi kuning ini.