Renovasi Rumah di Area Bencana
Zona rawan bencana belum selesai disusun, warga memilih bertahan di lokasi lama. Di Lombok, hunian tetap dan hunian sementara dibangun tanpa jamban komunal.
PALU, KOMPAS Peta zona rawan bencana Sulawesi Tengah masih disusun dan ditargetkan selesai akhir Desember nanti. Namun, sejumlah warga sudah merenovasi mandiri rumah-rumah mereka, masih di kawasan terdampak gempa dan likuefaksi.
Berdasarkan pantauan di beberapa titik dekat kawasan terparah dampak gempa dan likuefaksi, Selasa (27/11/2018), beberapa warga tampak merenovasi rumah mereka yang retak-retak. Bahkan, ada yang mulai membangun ruangan meski mereka sendiri belum sepenuhnya yakin lokasi rumah mereka itu aman.
Raya (38), warga Perumahan Central, Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, misalnya. Karung-karung semen baru saja ia beli dan tumpuk di teras. Selasa siang kemarin, seorang pekerja
tampak membuat bak cuci di dapur.
”Mau bikin dapur dan satu kamar di samping. Ini sudah mulai sejak sebelum gempa, tapi baru saya lanjutkan dua minggu lalu. Sempat waswas, tetapi, ya, yakin saja. Mau pindah ke mana?” kata Raya yang rumahnya berjarak ratusan meter dari kawasan yang terkena likuefaksi.
Raya sudah menghabiskan lebih dari Rp 10 juta dan tetap akan melanjutkan pembangunan rumahnya. Rumah bertipe 36 dengan dua kamar itu terasa sempit ditempati lima orang. Ditanya bagaimana jika rumahnya nanti masuk zona merah, Raya pasrah, tetapi tetap tidak pindah. Ia dan keluarganya baru setahun menempati rumah ini.
Agung (35), warga Jalan Karanja Lembah, Sigi, baru seminggu memasang konstruksi beton bertulang di bagian atas ruangan lantai dua rumahnya. Beberapa juta rupiah sudah dikeluarkan. Rumahnya hanya berjarak sekitar 500 meter dari lokasi likuefaksi.
”Melihat skala likuefaksi, saya tentu berpikir. Itu dekat banget. Tidak terkena langsung likuefaksi saat gempa September lalu bukan berarti sepenuhnya aman dari ancaman likuefaksi. Tetapi, di sini tempat saya cari uang,” kata Agung yang membuka jasa servis barang elektronik sejak 2007.
Lebih kurang sama dengan Meiting (49), warga Jalan Suharto, Petobo, Palu, yang sudah mengeluarkan uang hingga Rp 15 juta untuk memperbaiki dapurnya yang rusak. Dari seluruh ruangan, hanya dapurnya yang ambruk. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari lokasi likuefaksi.
Diminta sabar
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulteng Syaifullah Djafar, ditemui di kantornya, meminta masyarakat bersabar menunggu peta zonasi rawan bencana ditetapkan resmi pemerintah. Setidaknya akhir Desember mendatang.
”Nanti semua tahu mana kawasan yang paling rawan atau zona merah. Juga yang kerawanannya lebih rendah atau lihat sebagai zona kuning, hijau muda, dan hijau tua. Khusus untuk Kota Palu, tentu ada kawasan warna merah. Tapi, juga ada yang aman dihuni,” ujarnya.
Kawasan yang berisiko tinggi tsunami, likuefaksi, pergerakan tanah, dan berlokasi di area sesar aktif ditetapkan sebagai zona merah. Artinya, ujar Syaifullah, bukan kawasan aman dihuni. Namun, diakui, sebagian warga mempunyai pemikiran lain.
Selama rumah masih tampak utuh dan hanya retak-retak ringan, sebagian warga memilih untuk memperbaikinya. Mereka lebih merasa tidak nyaman jika tinggal di tenda atau rumah kerabat. Selain itu, ada juga keterikatan emosional dengan wilayahnya.
Kondisi Lombok
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pembangunan hunian tetap pascagempa didorong jadi satu kesatuan dengan keberadaan jamban. Saat ini warga cenderung buang air besar sembarangan karena tanpa jamban.
Nurdin Ranggabarani, Sekretaris Komisi IV DPRD NTB Bidang Infrastruktur, dalam Rapat Paripurna Pengesahan Raperda APBD NTB 2019, mengatakan, dalam pembangunan rumah instan sederhana sehat (Risha), rumah instan konvensional (Riko), dan rumah instan kayu (Rika), termasuk hunian sementara (huntara), hanya sebagai tempat tidur dan memasak, tanpa sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK). Untuk kebutuhan air, warga mendapat dari mobil tangki.
”Tanpa dilengkapi jamban atau sarana MCK, huntap dan huntara akan menimbulkan masalah baru, apalagi saat ini musim hujan yang sangat mengancam kesehatan warga,” ujar Nurdin.
Dalam Raperda APBD NTB 2019, dana Rp 241,9 miliar untuk pembangunan kantor pemerintah yang rusak. ”Pembangunan huntara dan huntap ditangani pemerintah pusat,” tutur Johan Rosihan, Juru Bicara Badan Anggaran DPRD NTB.
Penjabat Kepala Dinas Kesehatan NTB Marjito, mengatakan, pihaknya tak terlibat langsung membangun huntap dan huntara sehingga enggan berkomentar lebih banyak.
Namun, kata dia, ketersediaan sanitasi seperti jamban komunal di permukiman penduduk sangat diperlukan. Kebiasaan warga buang air besar bukan pada tempatnya akan mengundang penyakit, seperti diare dan tipus.
Sebelumnya, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan NTB Oka Wiguna mengatakan, untuk menekan BAB di tempat terbuka, Pemprov NTB menggelar Program Buang Air Sembarangan Nol (Basno) di 10 kabupaten/kota.
Hasilnya, dari 1.137 desa, baru 495 desa yang dikategorikan desa Basno, di mana kepemilikan jamban keluarga salah satu indikatornya.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, pembangunan Risha tak ditentukan ada tidaknya fasilitas jamban. ”Kami berharap kalau ada sisa duit dialokasikan untuk itu (bangun jamban),” katanya. (RUL)