JAMBI, KOMPAS —Sekitar 30 pemilik rumah rusak akibat aktivitas sejumlah pembangkit listrik di tengah permukiman padat di Kelurahan Payo Selincah, Kecamatan Palmerah, Kota Jambi, kian resah. Tuntutan perbaikan rumah sejak setahun terakhir belum direalisasi.
Pengembangan pembangunan pembangkit listrik di wilayah itu terus berjalan sejak 2010. Setelah pembangunan saluran udara bertegangan tinggi (Sutet) dan Pembangkit Listrik Bertenaga Diesel (PLTG) berhenti, belakangan dibangun pula Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di tengah-tengah permukiman masyarakat.
PLTU, misalnya, berdiri hanya berjarak 50 meter dari rumah warga. Warga mengeluhkan kebisingan dan uap limbah buangan yang menyebar di permukiman.
Salah seorang warga, Kusmiyati, mengatakan sejak dibangunnya sejumlah pembangkit listrik itu, banyak rumah warga retak-retak. Hal itu diperparah dengan puluhan truk pengangkut cangkang sawit—untuk memasok bahan bakar PLTU—dengan muatan 15 hingga 20 ton, membuat jalan yang biasa dilewati warga cepat rusak.
Pada musim hujan seperti sekarang, hampir sepanjang jalan di desa itu berkubang lumpur. “Masyarakat semakin resah,” ujarnya, Senin (26/11/2018).
Perihal dinding rumah yang retak-retak, warga sudah berulang kali menyampaikan hal itu pada aparat berwenang. Awalnya warga mengadu RT, lalu ke lurah. Karena tak mendapatkan solusi, warga pun melapor ke walikota dan gubernur.
Hingga setahun sejak keluhan dan tuntutan disampaikan, belum juga ada perbaikan. ”Akhirnya, belum lama ini kami mengirim surat kepada Presiden. Kami berharap beliau mau melihat kondisi kami di sini,” ujarnya.
Tuntutan warga sudah beberapa kali dibahas di tingkat daerah. Juni lalu, Manajer Sumber Daya Manusia PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL), perusahaan pengelola PLTU, Muhammad Galih Akram mengatakan pada akan berupaya memenuhi tuntutan warga. Aktivitas sejumlah pembangkit tersebut telah mengakibatkan 20-an rumah dipindahkan, dan hingga kini masih 30-an pemilik rumah menanti kepastian janji perbaikan.
Retak pada dinding rumah Era, warga setempat, contohnya, merupakan salah satu kasus keretakan terparah. Retakan menimbulkan beberapa rongga selebar 2 centimeter membelah dinding. “Sudah sangat berbahaya sekali kondisinya,” ujarnya.
Era memutuskan segera mengungsi bila tak kunjung ada kepastian soal janji perbaikan rumah dari perusahaan.
Anggota Komisi Penilai AMDAL Provinsi Jambi, Husni Thamrin, menilai kerusakan terjadi akibat lemahnya komitmen perusahaan dalam mengatasi dampak lingkungan pascaberoperasinya pembangkit. Lemahnya komitmen telah dilihatnya sejak awal saat proses pembuatan dokumen lingkungan berjalan.
“Sebagian warga tak tahu bahwa akan dibangun pembangkit di kampungnya. Wajar saja mereka protes ketika aktivitas itu menimbulkan dampak lingkungan di kemudian hari. Perusahaan harus bertanggung jawab,” katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Ardi, mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerjunkan tim untuk mengecek dampak lingkungan dari aktivitas pembangkit-pembangkit di sekitar permukiman itu. “Hasilnya masih kami tunggu,” kata Ardi.