MALANG, KOMPAS — Secara umum, bencana masih menjadi lahan bagi media massa untuk mengeksploitasi kesedihan dan menjadikannya drama peliputan. Padahal, hal tersebut tidak mendidik dan cenderung membuat orang merasa cuek akan liputan bencana. Oleh karena itu, media harus kembali mengambil peran sebagai peliput saat sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana usai terjadi.
Hal itu disampaikan oleh wartawan harian Kompas, Ahmad Arif, yang banyak menulis tentang mitigasi bencana. Ahmad Arif memberikan kuliah umum ”Saksi Mata Bencana: Menyelami Tantangan Peliputan Bencana dalam Jurnalisme di Indonesia” pada Rabu (21/11/2018) dan memberi sesi workshop penulisan artikel kebencanaan pada Kamis (22/11/2018) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
”Selama ini di Indonesia bencana baru akan mendapat perhatian saat bencana itu sudah terjadi. Mitigasi bencana jarang mendapat porsi yang besar atau jarang diberitakan. Ini karena masih adanya perspektif bahwa bad news is good news,” katanya.
Wartawan sekaligus penulis buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme tersebut mengingatkan bahwa tugas media massa adalah berada di seluruh lini, mulai dari sebelum bencana (mitigasi bencana), saat bencana, dan pascabencana. ”Momen pascabencana adalah momen yang juga penting harus dikawal di media. Namun, baisanya setelah bencana usai, pemberitaannya semakin sedikit. Padahal, media punya tugas mengawal pemulihan seusai bencana tersebut demi mengembalikan lagi semangat hidup korban bencana,” kata Ahmad Arif.
Ironisnya, menurut Ahmad Arif, selama ini pemberitaan media massa cenderung didorong oleh rating sehingga eksploitasi perasaan korban atau keluarga korban lebih ditonjolkan. ”Drama dalam suatu bencana selama ini sangat diekspos. Bahkan, media mencari-cari angle pemberitaan yang jauh dari bencana dan cenderung bombastis, hanya untuk mendapatkan clickbait atau untuk rating. Ini sebuah bencana tersendiri,” katanya.
Hal itu, menurut Ahmad Arif, disebut bencana tersendiri sebab menimbulkan ketakutan, kepanikan, bahkan menjadikan masyarakat muak. ”Bahayanya, masyarakat menjadi banal (merasa biasa) akan pemberitaan bencana. Ini jelas akan meningkatkan risiko bencana. Sebab, masyarakat akan semakin abai dengan mitigasi bencana,” katanya.
Sandra, mahasiswa Universitas Brawijaya, menanggapi kuliah umum tersebut dengan melontarkan pertanyaan hubungan di antara media, kultur masyarakat, dan bencana. ”Bagi saya, antara kultur dan bencana sangat terkait erat. Kultur tertentu masyarakat ada kalanya cenderung mengarah pada risiko bencana. Di sana, bagaimana peran media massa,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ahmad Arif mengatakan bahwa tidak semua hal bisa diatasi oleh pemberitaan media. ”Tidak semua hal bisa diselesaikan oleh pemberitaan media massa. Oleh karena itu, butuh integrasi semua pihak, baik pemerintah, akademisi, media, maupun masyarakat, untuk sama-sama bekerja sama mengurangi risiko bencana di Indonesia,” katanya. (DIA)