PALEMBANG, KOMPAS - Peraturan Menteri Perhubungan tentang operasional taksi daring terbit pada Desember 2018. Beberapa hal diatur, antara lain kuota pengemudi, wilayah operasional, tarif, dan standar pelayanan minimal. Aturan itu diharapkan meningkatkan keselamatan pengemudi dan penumpang.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, Sabtu (17/11/2018), di Palembang, menerangkan, pihaknya tengah merampungkan rancangan peraturan menteri akhir November 2018. Aturan itu sudah diuji publik di enam kota besar, yakni Medan, Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.
Peraturan baru itu revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek. September 2018, Mahkamah Agung menolak 21 pasal dalam peraturan menteri perhubungan itu. ”Pasal yang ditolak tidak kami gunakan lagi,” ujar Budi.
Beberapa hal dipertahankan, seperti batas kuota, wilayah operasi, tarif, dan standar pelayanan minimal (SPM). Aturan yang tak lagi digunakan adalah Uji KIR dan pemasangan stiker.
Tombol panik
Di dalam SPM tertera sejumlah aturan penggunaan alat keselamatan, seperti tombol panik di aplikasi pengemudi dan penumpang. Menurut rencana, aplikasi ini akan terhubung langsung ke polisi dan keluarga.
Selain itu, saat menggunakan aplikasi ini, orang terdekat akan mengetahui posisi terakhir pengemudi ataupun penumpang. ”Nantinya, pengemudi dan penumpang di dalam angkutan itu juga diasuransikan,” ucap Budi.
Terkait penggunaan sekat antara pengemudi dan penumpang, sampai saat ini belum tertuang dalam aturan itu.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan, proses perekrutan pengemudi harus dilakukan dengan baik dan berkualifikasi jelas. ”Pengemudi akan melayani orang banyak, jadi perekrutan harus baik,” katanya.
Di Palembang, empat pengemudi taksi daring tewas di tangan penumpang. Ketua Persatuan Driver Online Sumsel Wahidi mengatakan, sistem keamanan taksi daring harus ditingkatkan.