PALEMBANG, KOMPAS — Banjir besar yang melanda Palembang pada Selasa (13/11/2018) membuktikan tidak optimalnya tata ruang dan sistem drainase Kota Palembang. Banjir melanda 20 titik di Palembang dengan ketinggian mencapai 1,5 meter.
Minimnya ruang terbuka hijau dan kurangnya kolam retensi dinilai menjadi penyebab utama. Pemerintah diharapkan dapat berbenah dan menata kembali tata ruang sehingga banjir di Palembang dapat diminimalkan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri, Rabu (14/11), mengatakan, saat ini kerawanan banjir di Palembang cukup tinggi. Hujan lebat hingga dua jam saja, sejumlah kawasan sudah terendam.
Menurut Hairul, banjir terjadi di sekitar kolam retensi dan bantaran sungai. Selain itu, banjir juga melanda kawasan timbunan yang dulunya adalah rawa. ”Kawasan itu dulunya adalah daerah serapan, tetapi untuk kepentingan bisnis, sekarang sudah berubah fungsi,” ujarnya. Menurut Hairul, saat ini banyak kebijakan pemerintah yang tidak mengacu pada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sehingga bencana ekologis selalu terulang.
Hairul menerangkan, berdasarkan aspek topologi, Kota Palembang memiliki luas lahan sekitar 35.855 hektar yang sebagian besar adalah lahan rawa. Namun, karena berbagai kebutuhan dan kepentingan, saat ini lahan rawa di Palembang hanya menyisakan 2.372 hektar. Hal ini diperparah dengan tidak optimalnya drainase, termasuk keberadaan kolam retensi yang jauh dari kata memadai.
Jumlah kolam retensi di Palembang hanya 27 kolam, jauh dari jumlah ideal, yakni 77 kolam.
Jumlah kolam retensi di Palembang hanya 27 kolam, jauh dari jumlah ideal, yakni 77 kolam. Hal ini diperparah dengan minimnya ruang terbuka hijau (RTH) yang juga menjadi faktor utama penyebab banjir. RTH di Kota Palembang hanya 3.645 hektar, jauh dari luasan RTH ideal, yakni seluas 10.756 hektar. Sesuai ketentuan, luas ruang terbuka hijau minimalnya sebesar 30 persen dari luas wilayah kota. ”Jika hal ini dibiarkan, pendistribusian air akan terganggu,” ucapnya.
Belajar dari banjir besar kemarin, ujar Hairul, sudah saatnya pemerintah kembali memperhatikan aspek-aspek lingkungan perkotaan, seperti perluasan RTH, memulihkan serta menjaga area rawa yang tersisa, memperbaiki sistem drainase, dan memastikan fungsi kolam retensi berjalan dengan baik.
Pemerintah harus memastikan tidak ada lagi proses pembangunan dilakukan tanpa ada KLHS dan Amdal (dokumen lingkungan hidup). ”Jangan sampai proses dokumen lingkungan hidup terkadang hanya bersifat formalitas semata,” ujarnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Palembang Akhmad Bastari mengakui kondisi drainase di Palembang belum optimal akibat banyaknya bangunan yang tidak membangun saluran air yang memadai. ”Banyak bangunan dari pengembang yang tidak membuat saluran air sehingga mengganggu distribusi air. Belum lagi bangunan liar masih berdiri,” ucapnya.
Menurut dia, banjir hanya bisa diselesaikan dengan keterlibatan semua pihak. ”Jangan mengandalkan pemerintah sendiri karena semua ini demi untuk kepentingan bersama,” ujar Akhmad.
Saat ini, kata Akhmad, pemerintah sedang berupaya menambah kolam retensi dari yang semula 27 menjadi 33 kolam hingga tahun 2019. Pembangunan gorong-gorong juga akan dipercepat.
Selain itu, ujar Akhmad, pihaknya juga tengah berupaya mempercepat pembangunan pompanisasi Sungai Bendung yang saat ini masih terkendala pembebasan lahan. Dari 130 persil yang dibutuhkan, tinggal tiga persil yang belum dibebaskan karena pemilik lahan tidak menerima nilai yang ditetapkan kantor jasa penilai publik independen.
Akhmad menerangkan, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur guna mengantisipasi banjir, Pemerintah Kota Palembang menganggarkan dana lebih dari Rp 40 miliar pada 2019.