Organisasi Lingkungan Gelar Aksi Tolak Perusakan Hutan
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi peduli lingkungan menggelar aksi demonstrasi di halaman perusahaan multinasional GK di Jakarta, Senin (12/11/2018). Mereka menuntut perusahaan multinasional itu menghentikan kegiatan pembukaan lahan perkebunan sawit di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, karena diduga tidak mengantongi hak guna usaha dan perizinan lain.
Aksi tersebut dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia, dan Rain Forest Action Network (RAN), dengan tujuan menindaklanjuti temuan hasil investigasi sejumlah organisasi lingkungan itu pada tahun 2016.
Investigasi sejumlah organisasi lingkungan itu telah dibuat dan berisi temuan dugaan pelanggaran anak perusahaan GK selama menjalankan usaha perkebunan sawit di Gane sejak tahun 2006.
Massa aksi yang berjumlah belasan orang itu berkumpul sejak pukul 08.00 dan membentangkan spanduk. Hingga aksi itu selesai, tidak ada perwakilan dari perusahaan yang menemui pengunjuk rasa.
Setelah satu jam menggelar spanduk, massa aksi bergerak ke salah satu perbankan Indonesia di Jakarta Pusat. Di depan kantor itu, massa juga membentangkan spanduk yang meminta pihak perbankan tidak membiayai perusahaan yang merusak hutan Indonesia.
Ancam sumber produksi
Ketua Walhi Maluku Utara Ismet Soelaiman mengatakan, kegiatan tersebut dikhawatirkan mengancam sumber produksi masyarakat sembilan desa di Gane, Kabupaten Halmahera Selatan.
Perusahaan itu juga diduga tidak memiliki hak guna usaha dan dokumen amdal, tetapi terus memperluas pembukaan lahan hingga kawasan perkebunan warga.
”Kami minta GK segera menangguhkan semua operasi di Gane, termasuk perluasan penanaman sawit dan pengembangan pembalakan lahan milik masyarakat,” ujarnya.
Wakil Direktur Tuk Indonesia Edi Sutrisno menuturkan, lahan yang saat ini dikelola perusahaan itu seluas 11.100 hektar. Sebagian dari lahan tersebut milik masyarakat yang diduga diklaim secara sepihak.
Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit juga dikhawatirkan menghilangkan sumber produksi masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan, seperti kelapa, pala, dan cengkeh.
”Ada sekitar 7.000 jiwa penduduk yang mata pencariannya terancam,” kata Ismet.
Kepala Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan Walhi Zenzi Suhadi menambahkan, perusahaan itu juga diduga mengekspor kayu ilegal. Kayu itu diambil saat membuka lahan baru.
”Ada rencana perluasan lagi hingga 7.000 hektar. Di kawasan itu, tumbuh banyak kayu bernilai jual tinggi seperti merbau,” katanya. (STEFANUS ATO)