SIDOARJO, KOMPAS — Jumlah pernikahan usia anak di Jatim tergolong tinggi dan cenderung meningkat. Kasus itu tidak hanya terjadi di daerah tapal kuda yang menjadi kantong kemiskinan Jatim, tetapi juga di kawasan padat industri, seperti Sidoarjo, yang taraf pendidikan dan ekonomi masyarakatnya relatif bagus.
Fakta tingginya pernikahan usia anak (di bawah 18 tahun) itu mematahkan asumsi bahwa kemiskinan dan banyaknya angka putus sekolah sebagai penyebab utama. Karena itu, perlu diteliti penyebab maraknya pernikahan usia anak di kawasan industri sebagai fondasi menyusun strategi penanganan. Pernikahan usia anak menjadi salah satu tantangan besar dalam upaya membangun generasi emas menyongsong bonus demografi tahun 2030.
Sekretaris Utama BKKBN Nofrijal di sela acara Sosialisasi Pembangunan Keluarga Bersama Mitra di SMKN I Buduran, Sidoarjo, Rabu (7/11/2018), mengatakan salah satu indikator pernikahan usia anak adalah melahirkan di usia muda. Berdasarkan catatan BKKBN, angka kelahiran usia muda secara nasional pada 2012 tercatat 49 dari 1.000 kelahiran.
”Angka kelahiran usia muda itu turun menjadi 36 dari 1.000 kelahiran pada 2017. Kendati angkanya turun, jumlah itu termasuk tinggi sehingga harus terus diturunkan,” ujar Nofrijal.
Pemerintah pusat menargetkan angka kelahiran di usia muda turun menjadi 20 dari 1.000 kelahiran pada 2025. Di Jatim, angka kelahiran di usia muda lebih rendah dari rerata nasional, yakni sekitar 30 dari 1.000 kelahiran. Namun, angka itu tergolong tinggi sebab Jatim memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap angka kelahiran di usia muda secara nasional.
Kepala BKKBN Provinsi Jatim Yanrizal Makmur mengatakan, selama Januari hingga Juni 2018 tercatat sebanyak 136.000 pernikahan di wilayahnya. Dari 136.000 pernikahan itu, sebanyak 34.000 di antaranya merupakan pernikahan di bawah usia 20 tahun. Artinya, kasus pernikahan usia anak di Jatim mencapai 25 persen.
”Di daerah rawan, yakni kawasan tapal kuda yang meliputi Pulau Madura, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo, angka pernikahan usia anak lebih tinggi,” kata Yanrizal.
Untuk menurunkan angka pernikahan usia anak, sudah banyak upaya yang dilakukan. Contohnya di Kabupaten Pamekasan, kepala daerah telah mengumpulkan seluruh tokoh masyarakat dan mengajaknya berdialog untuk menyosialisasikan risiko pernikahan di usia anak. Para tokoh ini diajak menyosialisasikan ke masyarakat untuk menekan jumlah pernikahan usia anak.
Di Kabupaten Sidoarjo juga sudah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh agama. Namun, sosialisasi yang sifatnya informatif, imbauan, dan ajakan itu belum cukup efektif untuk menyadarkan masyarakat. Di sinilah perlunya upaya pencegahan secara sistematis melalui sebuah peraturan atau regulasi.
Minimal regulasi di lingkup lokal, seperti peraturan daerah atau peraturan bupati dan wali kota yang mencegah pernikahan usia anak. Adapun risiko pernikahan usia anak ini sangat tinggi, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Contohnya, sistem reproduksi yang belum matang untuk mengandung dan melahirkan anak.
Perekonomian yang masih labil sehingga berdampak pada kesejahteraan keluarga. Juga masalah sosial yang rentan muncul karena kondisi kejiwaan yang belum matang. Contohnya ketidakmampuan mengatasi perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam keluarga sehingga berisiko tinggi mengalami perceraian.