Menengok Kekayaan Budaya NTT melalui Koleksi Museum
Oleh
Videlis Jemali
·4 menit baca
Gedung di pinggir salah satu jalur sibuk tersebut seolah memberikan keteduhan. Di situ, matahari terik seperti saat musim kering ini berubah sejenak karena aura "kesejukan" nilai dari berbagai koleksi benda budaya.
Ini Museum Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Jalan Frans Seda, bagian dari jantung Kota Kupang. Museum tersebut mengoleksi lebih kurang 7.000 benda dari berbagai kategori, antara lain arkeologi, zaman penjajahan, pertanian, kain dan sebagainya.
Koleksi museum yang langsung tersaji selepas ruang registrasi pengunjung adalah benda-benda prasejarah mulai dari zaman megalitikum (zaman batu besar). Koleksi yang tersaji antara lain serpihan kapak batu, serpihan bilah, kapak perimbas, dan kapak lonjong. Koleksi tersebut ditemukan dari sejumlah situs atau gua yang tersebar di NTT.
Menurut Jana, pemandu yang disiapkan pihak museum, Jumat (26/10/2018), benda-benda tersebut kebanyakan ditemukan di Gua Liangbua, Kabupaten Manggarai, yang hingga saat ini masih terus digali untuk kepentingan penelitian. Dari gua tersebut terungkap manusia prasejarah yang dikenal homo floresiensis,l (manusia kerdil dari Flores).
Benda seni budaya lain dari zaman megalitikum yang juga tersaji, antara lain arca batu (fatu nak atoni) dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Arca ini pendek dengan ukiran wajah manusia. Arca biasanya disimpan di rumah adat sebagai representan arwah nenek moyang yang diyakini menjadi penjaga warga dari bahaya atau bencana.
Setelah pajangan benda-benda warisan kebudayaan megalitikum, tersaji koleksi zaman logam. Dari babak sejarah kebudayaan tersebut, ada berbagai jenis gelang. Gelang-gelang dalam berbagai bentuk, mulai dari polos tanpa ukiran hingga gelang berukir dengan warna keabuan. Terdapat juga gelang yang tipis.
Salah satu koleksi legendaris dari zaman logam adalah moko yang berasal dari Kabupaten Alor. Moko merupakan alat musik pukul bertinggi sekitar setengah meter dengan rongga di dalamnya. Moko sedikit menyerupai gendang hanya seluruhnya terbuat dari logam.
"Selain sebagai alat musik, moko juga dijadikan sebagai mas kawin yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kebiasaan ini masih berlanjut hingga saat ini," ujar Jana.
Meleset ke zaman kolonialisme, bukti NTT terutama daratan Timor dijajah Belanda adanya pilar yang bertuliskan VOC (Vereenigde Oostindische Compagne) dan ukiran singa terhunus pedang lambang kerajaan Belanda di kedua sisi pilar. Pilar tersebut ditemukan di Kota Kupang.
Terkait penjajahan Belanda, Museum NTT merekam perlawanan rakyat NTT dalam rupa-rupa alat perang yang digunakan. Alat perang tersebut berupa parang dengan berbagai variasi. Ada parang yang panjang tipis dengan bagian ujung depan melengkung. Ada juga parang pendek, tapi agak tebal.
Senjata laras panjang juga sudah digunakan pada masa tersebut. Namun, pelurunya berupa pecahan kaca dan sumbu yang ditumbuk. Senjata tersebut menyerupai senjata otomatis laras panjang era modern.
Koleksi lain yang saat ini jadi kekayaan budaya khas NTT adalah kain tenun. Di museum ini, dipajang berbagai jenis kain yang dihasilkan berbagai suku. Semua menampilkan motif kain yang berbeda. Suku Manggarai di Flores bagian barat, misalnya, menyajikan karya tenun dengan warna dasar hitam dihiasi motif bintang atau ketupat dengan warna putih, merah, dan biru.
Motif kain suku Lamaholot di Kabupaten Flores Timur lain lagi. Kain tenun bermotif dasar kemerahan dengan hiasan berupa gambar matahari, bulan, bintang.
Selain kain, koleksi lain yang juga menjadi semacam legenda di museum ini adalah alat musik. Alat musik yang paling mencolok sasando, alat musik petik dari Kabupaten Rote Ndao. Alat musik ini telah "menggemparkan" dunia musik karena bentuknya yang unik, yakni terbuat dari daun lontar dan bambu dengan dawai mengelilingi bambu. Bambu menjadi resonator utama, lontar jadi resonator kedua.
Pengunjung
Selama ini museum lebih sering dikunjungi para siswa di Kota Kupang dan sekitarnya. "Dalam sehari, kami melayani 3-4 rombongan pelajar dan wisatawan mancanegara. Jarang ada perorangan yang datang ke museum," kata Jana yang siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kota Kupang.
Rata-rata setiap rombongan beranggotakan 10-15 orang. Pengunjung dikutip Rp 3.000 untuk sekali kunjungan.
Jana berharap pengunjung ke depan semakin banyak dengan terus digelarnya berbagai kegiatan di museum. "Waktu saya pertama kali datang tiga bulan lalu, saya langsung kagum ternyata NTT memiliki begitu banyak kekayaan budaya. Ini membanggakan dan perlu dikenal oleh semua orang," katanya.
Fransiska Mamulak (11), siswa di salah satu sekolah negeri di Kelurahan Liliba, Kecamatan Maulafa, menyatakan dirinya belum pernah berkunjung ke museum. Padahal, ia sangat ingin ke museum untuk melihat koleksi di sana.