Dari Kampung untuk Warga Kampung ala Kota Yogyakarta
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
Keberadaan kampung di Kota Yogyakarta yang dulu berasal dari kata RK (Rukun Kampung) kini sudah diganti dengan istilah RW (Rukun Warga). Namun sebenarnya kesatuan warga kampung masih nyata. Kampung Dukuh dan Kampung Gedongkiwo, keduanya di Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, ini dibatasi sekolah pendidikan anak usia dini, dan sebuah kolam ikan nila berukuran 4 meter x 40 meter. Batas tersebut hanya bersifat imajiner, karena dalam kenyataan batas itu justru menyatukan. Kedua warga kampung itu bersama-sama terlibat mengelola PAUD dan kolam ikan. Tempat ini juga sebagai pusat pertemuan, rekreasi, dan menyelesaikan masalah sosial.
Memasuki kampung ini, mata langsung tertuju pada sebuah ruang udara dengan puluhan payung beranekawarna yang sedang menggantung, di ketinggian 3- 4 meter dari permukaan tanah. Deretan payung-payung ini diletakan di sepanjang areal kolam ikan nila. Terpaan sinar matahari menyebabkan payung-payung itu berkilau.
Suasana siang pukul 13.00 itu masih sepi. Semua penghuni kampung masih sibuk bekerja di luar kampung. Beberapa ibu rumah tangga tampak masuk keluar rumah, dengan kondisi tergesa-gesa, tidak ingin diganggu.
Aliran air yang dipompa dari Kali Winongo masuk deras ke dalam kolam berukuran 4 m x 40 m itu. Ikan nila berwarna kuning kemerah-merahan, seukuran 5 cm meliuk di dalam kolam, di tengah terik, mengikuti aliran air sungai. Tampak pula titian dari bambu dengan panjang 4 meter, diletakan berpetak-petak di sepanjang kolam berukuran 40 m itu.
Mudji Wijaya (52) warga Kampung Dukuh, Kamis (25/10/2018) mengatakan, setiap Senin – Sabtu, pukul 16.00 – pukul 18.00 anak-anak itu bermain bersama pendamping, enam orang ibu guru.
Keenam ibu guru itu warga kedua kampung, berprofesi sebagai guru SD dan SMP di sekolah terdekat. Mereka mendampingi anak-anak PAUD setiap sore, secara bergilir, usai mengajar di sekolah. Mereka mendampingi sekitar 67 anak PAUD secara sukarela.
Kawasan ini pun menjadi tempat wisata warga setempat. Setiap hari Minggu dan Sabtu ratusan warga memadati kawasan ini. Di luar hari itu, suasana di kawasan perbatasan kedua kampung itu tampak sepi.
Pagar mengelilingi petak-petak kolam dicat berwarna warni. Tampak pula sebuah perahu dipajang disamping kolam. Perahu ini untuk diperkenalkan kepada peserta PAUD sekaligus menjadi tempat bermain.
Biasanya para pengunjung hadir untuk berfoto bersama, berekreasi, berkumpul bersama, berembug menyelesaikan masalah keamanan dan sampah, dan berbagai persoalan di dua kampung itu. Mereka sebagian besar warga dari kedua kampung. Mereka seakan disatukan melalui keberadaan kolam ikan dan PAUD.
Warga kedua kampung ini pun beramai-ramai memberi makan ikan secara sukarela, saat ada waktu luang. Mereka mengambil pelet (pakan) yang disiapkan Ketua RT, Rohmat untuk dilemparkan ke kolam.
Kiri-kanan kolam dibangun tempat bermain bagi pendidikan anak usia dini (PAUD). Warga membiarkan pekarangan rumah mereka dibangun tempat bermain anak-anak. Pada dinding bangunan diukir mural, berisikan pesan moral, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, dan kehidupan beragama.
Ikan nila sebanyak 15.000 itu milik warga kedua kampung. Mereka menjual dengan harga Rp 25.000 per kg. Uang yang diperoleh, untuk membeli bibit nila dan pelet ikan. Biasanya pada usia 6-8 bulan, ikan itu bisa dipanen.
“Bibit ikan diperoleh dari Camat Mantrijeron tahun 2016. Saat itu camat memberikan bibit nila sebanyak 3.000 ekor, tetapi berkembang biak menjadi ribuan ekor sampai hari ini, mencapai 15.000 ekor,”kata Mudji.
Ny Berto (46) petugas Posyandu di Kampung Dukuh mengatakan, jumlah penduduk Kampung Dukuh sebanyak 43 kepala keluarga (KK) dan Kampung Gedongkiwo sebanyak 62 KK. Mata pencarian warga dari dua kampung ini beranekamacam, yakni guru (PNS), pedagang, karyawan swasta, pengeruk pasir sungai, dan pedagang.
Kedua kampung ini terletak persis di bantaran Kali Winongo, salah satu dari 11 sungai (kali) di Yogyakarta.
Sayang, kondisi Kali Winongo tampak kotor. Warga dari luar kampung membuang sampah ke sungai pada malam hari. Padahal, di sisi sungai terpajang beberapa spanduk larangan membuang sampah dan merawat sungai.
“Di sini belum ada organisasi atau wadah dari kampung atau kelurahan peduli sungai. Tidak ada pengawasan atau kontrol khusus dari masyarakat. Kalau soal sampah, ya ada petugas yang datang ambil, setelah setiap kepala keluarga membayar Rp 10.000 per bulan,” kata Berto.