PALU, KOMPAS - Tata ruang wilayah terkena gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah bakal direvisi. Aspek mitigasi bencana bakal menjadi perhatian utama dalam penataan ruang yang baru itu.
”Saat ini, ada perubahan bentang alam di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi. Semuanya akan jadi pertimbangan penting saat menyediakan hunian bagi penyintas dan rencana penataan kawasan terdampak selanjutnya,” kata Direktur Jenderal Tata Ruang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Abdul Kamarzuki setelah rapat terbatas tentang arah tata ruang pascabencana di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin (22/10/2018).
Abdul mengatakan, tata ruang di Sulteng banyak yang berubah. Ia mencontohkan permukiman di Jono Oge, Kabupaten Sigi, yang bergeser sekitar 3 kilometer dari tempat semula. Kawasan itu kini menjadi kebun jagung dan hamparan pohon kelapa.
”Yang dulunya kawasan kuning atau bisa dihuni, sekarang terdampak likuefaksi. Hal serupa juga terjadi di Petobo dan Balaroa, Kota Palu,” katanya.
Revisi juga bakal menyasar peta lokasi rawan bencana. Hal itu selama ini sudah ada, tetapi garis batas wilayahnya tidak terlalu jelas. Akibatnya, banyak permukiman dibuat di kawasan rawan bencana.
Untuk tahap awal, akan diterbitkan rekomendasi pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi.
Rekomendasi itu digunakan untuk menerbitkan peraturan daerah baru terkait revisi tata ruang. ”Rekomendasi akan berisi peta zonasi dan matriks ruang rawan bencana yang dibuat Badan Geologi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” katanya.
Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar menjelaskan, peta rawan bencana akan menggunakan skala 1 : 10.000 agar lebih jelas titik kerawanannya. Peta itu ditargetkan selesai akhir Oktober 2018 atau paling lambat sebelum hunian sementara (huntara) selesai dibuat.
Saat ini, sebanyak 1.700 unit huntara dibangun dengan target rampung dua bulan ke depan. ”Agar lebih ideal, zonasi dan matriks itu harus diikuti kesiapan infrastruktur, meminimalkan dampak bencana,” katanya.
Sekretaris Daerah Sulteng Muhammad Hidayat Lamakarate berharap, revisi tata ruang bisa membantu pemerintah kota dan kabupaten mengedepankan pemahaman mitigasi bencana saat membangun wilayahnya. Jadi, tak ada lagi warga membuat permukiman dan bangunan dengan melanggar aturan yang sudah ditentukan.
Rahman (35), warga Petobo, Kota Palu, minta hunian tetap dibangun bersama infrastruktur pertanian. Maklum banyak warga petani. (IDO/JOG/CHE)