Undang-undang Spektrum Frekuensi Perlu Segera Diwujudkan
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang dasar kebijakan spektrum frekuensi. Pembuatan peraturan tentang hal itu perlu didorong karena spektrum frekuensi tidak hanya menyangkut soal komunikasi saja, tetapi juga pertahanan dan keamanan nasional.
Hal ini dibahas dalam seminar nasional bertajuk “Prinsip Dasar Pengelolaan Spektrum Frekuensi Radio Sebagai Guideline Pembentukan Undang-Undang (UU) Spektrum Frekuensi Nasional”, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (17/10/2018).
Ketua Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (CITRUS) Asmiati Rasyid menjelaskan, spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya berupa energi gelombang elektromagnetik yang merambat di udara dan ruang angkasa.
“Hal ini membuatnya berfungsi membawa informasi. Baik yang digunakan untuk kepentingan hankam (pertahanan dan keamanan) dan komersial,” kata Asmiati, dalam seminar itu.
Asmiati berpendapat, urusan spektrum frekuensi ini pun tidak bisa diurus oleh satu instansi kementerian saja. Ada sejumlah instansi yang saling terkait sehubungan dengan urusan spektrum frekuensi tersebut, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Selama ini, peraturan yang mengatur spektrum frekuensi baru UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
“Kedua peraturan itu tidak mampu menjamin pengelolaan spektrum frekuensi lintas kementerian,” kata Asmiati.
Asmiati menyatakan, menurut PP 53/2000, Kemenkominfo memiliki wewenang yang besar atas aset berupa spektrum frekuensi yang bernilai ekonomi tinggi. Alokasi spektrum frekuensi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan nasional pun turut ditetapkan oleh pihak Kemenkominfo.
Sementara itu, Asmiati mengatakan, tidak ada pembagian alokasi yang jelasa antara penggunaan non komersial seperti pertahanan dan keamanan, SAR, riset, dan telekomunikasi khusus untuk tugas negara, serta komersial seperti layanan komunikasi publik dan internet. Hal yang dikhawatirkan adalah terjadinya kebocoran informasi-informasi rahasia yang dimiliki oleh negara.
Any Andjarwati, pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, spektrum frekuensi ini perlu diatur untuk menjamin keamanan informasi dan rahasia negara. Peraturan itu sebenarnya menjadi kebutuhan bagi pertahanan dan keamanan nasional.
“Ini menjadi kebutuhan hankam. Jadi, tak bisa menunggu lagi. Ini tentang kerahasiaan negara. Ketergantungan terhadap negara lain untuk soal komunikasi,” kata Any.
Terkait hal itu, Asmiati mengungkapkan, dengan terjadinya liberalisasi sektor telekomunikasi dan pengaturan alokasi yang belum cukup jelas, spektrum frekuensi dijadikan barang rebutan oleh pihak swasta. Sebab, kebutuhan akan hal tersebut terus meningkat seiring meningkatnya layanan wireless broadband communication dan broadband internet di Indonesia.
Sementara itu, Faisal Basri, pengamat ekonomi dan pendiri Citrus, menyampaikan, perlu dibuat Badan Spektrum Nasional untuk mengatur tentang pengelolaan spektrum tersebut. Lembaga itu bertugas untuk berkoordinasi dengan lintas kementerian yang berkaitan dengan hal itu.
"Hal yang diurus ini lintas sektoral. Perlu badan atau lembaga khusus yang berwenang untuk mengurus hubungan lintas sektoral itu," kata Faisal.