Pengelolaan SDA Membutuhkan Peran Perempuan
DENPASAR, KOMPAS — Sumber daya alam, termasuk hutan dan lahan, tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan perempuan. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan membutuhkan peran perempuan.
Demikianlah benang merah penuturan pengalaman dan diskusi yang difasilitasi The Asia Foundation di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Minggu (14/10/2018).
Diskusi ini mempertemukan perwakilan perempuan pegiat pemberdayaan masyarakat dan lingkungan dari Aceh, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Papua; perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan perwakilan pemerintah daerah dari Sumatera Selatan dan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan; dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID).
Kepala Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ayu Dewi Utari menyatakan, hutan sebagai sumber daya alam memiliki nilai sosial, nilai budaya, dan nilai ekonomis yang juga tidak terpisahkan dengan masyarakat, termasuk perempuannya. Perempuan sangat dekat dengan pengelolaan sumber daya alam sehingga perempuan juga paling merasakan dan terdampak apabila terjadi perubahan di lingkungannya.
”Kementerian mendukung kesetaraan dan pengarusutamaan jender dalam upaya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan,” kata Ayu yang juga Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ayu menambahkan, kesetaraan jender juga menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang sesuai dengan agenda dunia tentang tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).
Pegiat perempuan dari Aceh Tamiang, Aceh, Dewi Sartika, mengatakan, perempuan di Desa Batu Bedulang, Tamiang Hulu, bersama masyarakat setempat berjuang untuk memperoleh hak atas lahan.
Bersama lembaga swadaya masyarakat Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Dewi mengorganisasi komunitas setempat untuk berdialog dengan pemerintah daerah. Mereka berupaya memperjuangkan hak masyarakat atas lahannya yang berada di lahan yang dikelola perkebunan Nusantara.
”Karena kampung kami disapu banjir bandang, kami direlokasi ke lahan yang dikuasai PTPN,” kata Dewi dalam pertemuan di Tahura Ngurah Rai. ”Di tempat relokasi itu, kami diberikan lahan seluas 4 hektar dengan izin pakai, tetapi tidak disertai surat-surat yang menguatkan posisi masyarakat. Ini yang kami perjuangkan,” ujar Dewi.
Naomi Marasian dari Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt PPMA) Papua mengungkapkan, mereka memperjuangkan hak pengelolaan hutan bagi komunitas adat di Papua. Menurut Naomi, masyarakat adat memiliki hak komunal untuk mengelola lingkungan, termasuk hutan, demi kelangsungan komunitas mereka.
”Negara seharusnya menghargai hak-hak masyarakat adat demi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat adat,” kata Naomi. ”Selain itu, masyarakat adat tidak akan merusak hutan mereka karena (hutan) itu adalah kehidupan mereka,” ujarnya.
Perwakilan pegiat lingkungan dari Samarinda, Kalimantan Timur, Dewi Sartika, mengatakan, kelompok ibu di Samarinda bersama masyarakat dan organisasi nonpemerintah, yakni Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, bergerak untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan tambang dan jatuhnya korban jiwa di kolam bekas galian tambang. Mereka menempuh jalur hukum melalui gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait kerusakan lingkungan akibat pertambangan.
Kebijakan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Maros Noralim mengatakan, Pemerintah Kabupaten Maros sudah membuat kebijakan dan peraturan yang mengakomodasikan kesetaraan jender, termasuk kebijakan mengenai pengelolaan hutan dan lahan.
Kabupaten Maros memiliki peraturan mengenai tata cara pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan anggaran dana desa yang mengakomodasi pemberdayaan perempuan dalam perhutanan sosial dan pelestarian hutan.
”Kami mengakomodasi peran perempuan sejak awal, mulai dari perencanaan,” kata Noralim. Mereka juga ikut mengawal jalannya kebijakan dan peraturan itu,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, Sekretaris Tetap DFID Matthew Rycroft menyatakan sangat mengapresiasi pelibatan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia. Didampingi Tom Owen Edmunds dari Tim Unit Perubahan Iklim Inggris (UKCCU) Indonesia, Matthew mengatakan, perempuan juga berperan di masyarakat dan penting untuk memperhatikan suara perempuan.
Deputi Direktur Program Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola (Setapak) Alam Surya Putra mengatakan, Setapak adalah program yang diinisiasi The Asia Foundation bersama organisasi masyarakat sipil dan difasilitasi Unit Perubahan Iklim Inggris mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan perempuan dan laki-laki dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.