SURABAYA, KOMPAS — Penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten/kota di Jawa Timur koruptif. Hal itu terbukti dari keterlibatan 13 bupati dan wali kota dalam kasus korupsi kurun dua tahun terakhir. Birokrasi koruptif diyakini sebagai imbas dari politik uang sehingga menjerat calon bupati dan calon wali kota dengan utang politik. Saat menjabat, mereka terpaksa korupsi untuk melunasi utang politik.
Enam bupati dan wali kota di antaranya masih berstatus menjabat tetapi nonaktif. Mereka belum digantikan pejabat baru definitif selain pelaksana tugas yang merupakan wakil bupati atau wakil wali kota.
Mereka yang terjerat kasus korupsi adalah Bupati Malang Rendra Kresna, Wali Kota Pasuruan (nonaktif) Setiyono, dan Bupati Tulungagung (nonaktif) Syahri Mulyo yang kasusnya dalam penyidikan KPK. Yang sedang disidangkan adalah Bupati Mojokerto (nonaktif) Mustofa Kamal Pasa dan Wali Kota Blitar (nonaktif) Samanhudi Anwar. Wali Kota Mojokerto (nonaktif) Mas’ud Yunus divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya.
Tujuh bupati dan wali kota lainnya sudah digantikan pejabat baru hasil pemilihan tahun ini. Mereka adalah bekas Wali Kota Malang Moch Anton yang digantikan Sutiaji (sebelumnya Wakil Wali Kota Malang), bekas Wali Kota Batu Eddy Rumpoko yang digantikan istrinya, Dewanti.
Selanjutnya, bekas Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang digantikan Novi Rahman Hidayat, bekas Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang digantikan Mundjidah Wahab (sebelumnya Wakil Bupati Jombang), bekas Bupati Pamekasan Achmad Syafii yang digantikan Badrut Tamam, bekas Wali Kota Madiun Bambang Irianto digantikan Maidi (sebelumnya Sekretaris Kota Madiun), dan bekas Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron digantikan adiknya, Abdul Latif Amin Imron.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang akan mengakhiri dua periode pemerintahan pada Februari 2019 mengaku terpukul sebab 13 dari 38 kepala daerah di provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini terlibat korupsi. ”Ini tamparan,” katanya, Sabtu (13/10/2018).
Mungkin ada yang terpilih dari kalangan terkenal yang sebelumnya suka bagi-bagi uang tetapi dari hasil memeras. Padahal, pemerintahan perlu dipimpin orang yang mampu dan berkompeten.
Soekarwo menilai perilaku koruptif erat kaitannya dengan politik uang yang mungkin terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Kontestasi dalam konteks demokrasi juga membuka seluas-luasnya siapa saja untuk berkompetisi sebagai calon kepala daerah.
”Mungkin ada yang terpilih dari kalangan terkenal yang sebelumnya suka bagi-bagi uang tetapi dari hasil memeras. Padahal, pemerintahan perlu dipimpin orang yang mampu dan berkompeten,” ujarnya yang juga menjabat Ketua Partai Demokrat Jatim itu.
Kalangan akademisi menilai potensi koruptif mungkin bisa diatasi dengan menghentikan praktik jual beli mahar dalam syarat pencalonan pemimpin daerah. Kebiasaan ini harus menjadi aib, dan bisa langsung digunakan sebagai upaya awal memulai penyelidikan tindak pidana pemilihan umum.
Pakar politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi dan Joko Susanto, sepakat praktik mendapatkan uang korupsi oleh bupati dan wali kota bermula dari pencarian sumber-sumber uang untuk biaya modal politik ketika ”melamar” menjadi calon kepala daerah. Mahar atau biaya pembelian kesempatan menjadi peserta pemilihan bupati/wali kota muncul pada era demokrasi ini.
Pada prinsipnya, tidak ada yang salah dalam dasar hukum mekanisme pemilihan bupati/wali kota. Namun, Airlangga dan Joko melihat ada kejahatan yang muncul akibat ”modifikasi” dalam mendapatkan kesempatan untuk kontestasi dengan memberi uang kepada partai politik guna mendapatkan dukungan.
Itu memunculkan ”aliansi bisnis-politik” atau persekongkolan pelaku politik. Bisa saja pimpinan partai potensial menang berkomplot dengan penyedia bisnis dana politik untuk memenangkan calon tertentu. Nah, pelaku aliansi ini bisa siapa saja, tetapi yang memiliki ”kekuasaan”; pengusaha, politikus, dan tokoh masyarakat yang punya kekayaan besar.
”Transaksi terjadi jika nilai dana disepakati antara kuasa lokal dan kuasa politik serta bakal kandidat. Terbentuk istilah ”mahar” yang semula sebenarnya tidak memiliki konteks politik, tetapi kini menjadi bahasa politik, yaitu nilai transaksi jual beli kesempatan menjadi kontestan bupati/wali kota/anggota dewan,” kata Airlangga.
Joko menambahkan, bagaimanapun tindakan yang harus dilakukan adalah perubahan teknis kepemiluan sebagai pintu utama dimulainya praktik politik uang. ”Penting sekali membangun rezim politik yang benar-benar bersih dari apa pun peluang politik uang. Bagaimana menciptakan sistem pemilu sehingga kandidat baik serta berkualitas dan berkapasitas bisa maju dan berkompetisi,” ujarnya.
Joko juga mengatakan, penting mengubah sistem pembiayaan partai politik sehingga transparan. ”Melalui kebutuhan atas biaya partai politik inilah muncul mental politik uang,” katanya.