Diplomasi kopi di ajang IMF-World Bank di Bali sukses besar dan mendapat apresiasi Presiden RI Joko Widodo dan para menteri. Di balik kesuksesan acara itu ada tangan-tangan para barista andal. Para barista itulah sebenarnya-benarnya duta kopi Indonesia.
Dalam ajang International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group (WBG) Annual Meetings 2018, PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk mengajak enam barista bersertifikasi Internasional. Mereka adalah Muhammad Aga, Evelyne Yamin, Muhammad Fakhri, Rendy Mahesa, Horison Candra, dan Mikhael Jasin. Selain itu juga diajak tiga asisten barista yaitu Seno Ardabuana, Teguh, dan Munir.
Muhammad Aga merupakan peringkat 1 Indonesia Barista Championship 2018, Rendy Mahesa barista dalam Western Champion Indonesia Brewer Championship 2017, Horison Candra adalah barista dalam ajang Indonesia Brewers Championship 2017, Evelyn Yamin adalah peringkat 2 Indonesia Latte Art Championship 2017, Muhammad Fakhri adalah peringkat 3 Indonesia Brewer Cup Western Region, dan Mikhael Jasin adalah barista dalam Australian Coffee in Good Spirits 2015.
Para barista dan asisten barista itu selama ini melayani para delegasi. Tangan-tangan andal mereka, dengan lihai menakar, meramu, dan menyeduh kopi hingga menjadi segelas kopi nikmat.
Saking tertariknya dengan kopi racikan para barista, banyak delegasi luar negeri bertanya di mana bisa membeli biji kopi seperti yang mereka minum. “Saya orang Malaysia, tapi di Malaysia kopinya tidak seenak ini. Saya biasanya minum kopi Malaysia dan Kamboja. Saya ingin membeli kopi seperti ini, kira-kira di mana saya bisa membelinya?,” tanya Piere Jean Allain, staf IMF asal Malaysia.
Piere adalah salah satu dari banyak delegasi asing yang bertanya kopi yang mereka minum. Sayangnya, stan Brikopi tidak menjual kopi. Akhirnya, panitia mengatakan bahwa yang ingin membeli kopi bisa mencari di kafe rujukan atau membelinya secara online.
Untuk barista sendiri, mereka rata-rata mulai menggeluti dunia barista karena sering nongkrong di warung kopi. Muhammad Aga adalah barista yang mulai menekuni dunia kopi sejak 2009. Ia belajar menjadi barista karena sering bertemu dan berkumpul dengan teman di kafe. Padahal sebelumnya, latar belakang pendidikan Aga adalah musik.
“Saat itu belum ada sekolah barista seperti sekarang ini. Jadi sejak tahun 2009-2012, saya belajar barista dari Youtube. Lalu saya mulai coba-coba ikut kompetisi Asean Barits di Thailand pada tahun 2013,” katanya. Di sana, Aga bertemu dengan pemilik kafe Tanamera. Diajaklah Aga bekerjasama dan membangun Tanamera di Jakarta.
Aga pun belajar dan mengikuti kompetisi, hingga beberapa kali menang, dan pulang membawa piala. Oleh karena menang beberapa kompetisi, pemilik Tanamera menghadiahi Aga untuk belajar roasting dan sensori lidah ke Australia pada tahun 2014 selama 10 hari. Pengalaman itu menjadi bekal Aga untuk kemudian membuka Coffee Smith di Jakarta pada tahun 2015.
Muhammad Fakhri juga menjadi barista karena seringnya nongkrong di warung kopi milik Aga. Saat itu, Fakhri sedang bersekolah S2 kriminologi di Universitas Indonesia. Fakhri juga merupakan sarjana S1 psikologi Universitas Diponegoro.
“Saya terlalu sering ngopi dan melihat Aga meracik kopi. Lama-lama Aga mengajari saya dan saya pun berani ikut kompetisi pada tahun 2018 dan menjadi peringkat 3 Indonesia Brewer Cup Western Region,” katanya. Fakhri juga sempat belajar barista selama 3 hari dengan biaya Rp 5 juta.
Keberhasilan Fakhri menjadi juara langsung membuat banyak orang terpana, sebab Fakhri adalah barista dengan satu tangan (cacat tangan kanan sejak lahir).
“Barista menjadi penyampai pesan dalam mata rantai perkopian. Melalui barista, konsumen mengenal kopi dan bisa menghargai kopi. Oleh karena itu, menjadi barista tidaklah mudah namun juga tidak sesulit yang dibayangkan. Yang penting kerja keras dan niat,” katanya. (COK/DIA)