Dewi Sarung Suwek bosan karena dirinya tidak memiliki kesibukan. Dia pun berpikir untuk melakukan sesuatu. Dewi yang dikenal sebagai tokoh antagonis ini pun segera berpikir untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan karakternya. Rencana heboh pun segera muncul dalam pikirannya.
Dia segera beranjak memanggil Jon Pedro, temannya.
”Jon, segera sebarkan kabar aku baru saja dianiaya. Tolong bilang aku dipukuli ya,” ujarnya, sembari menyorongkan amplop berisi uang sebagai honor Jon.
Jon segera bergegas pergi, menyampaikan kabar tersebut dan meminta rekan-rekannya yang menganggur membantu menyebarkannya lebih luas. Dalam sekejap, situasi pun langsung rusuh.
Cerita inilah yang disuguhkan dalam pertunjukan Wayang Hoaks yang ditampilkan dalang Susilo Anggoro dalam acara ”Refleksi Nusantara untuk Palu” di sebuah hotel di Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (10/10/2018).
Cerita wayang tersebut mengingatkan pada kisah Ratna Sarumpaet dan kisah-kisah tentang berita hoaks lainnya yang berujung menjadi kasus pidana. Sutanto Mendut, budayawan Magelang, mengatakan, cerita-cerita hoaks inilah yang saat ini ”mencemari” keseharian di Indonesia.
”Semua cerita hoaks dari Jakarta itu menjijikkan. Hoaks-hoaks itu cuma memunculkan diskusi tentang pilpres, diskusi tentang kepemimpinan lima tahunan, yang tidak penting untuk dibahas. Cerita-cerita itu melukai hati dan pikiran masyarakat, terutama mereka yang tertimpa bencana, seperti Palu dan Lombok. Cerita itu juga melukai akal pikiran semua kalangan masyarakat secara umum di mana pun mereka berada,” ujarnya.
Berita hoaks dan diskusi tidak penting tersebut, menurut Sutanto, membuat banyak orang lupa bahwa sebenarnya figur pemimpin tidaklah terlalu penting karena yang menjadi penggerak utama adalah masyarakat.
Bencana, sekalipun membawa penderitaan, menurut dia, adalah bentuk kebijakan dan keadilan dari Tuhan untuk memupus semua perbedaan dan diskusi omong kosong tentang semua perbedaan pendapat, termasuk perbedaan politik, yang ada di masyarakat. Situasi bencana menyatukan semuanya karena rasa solidaritas senasib sepananggungan.
Pascabencana, solidaritas pun perlu diperkuat dengan semakin mengenali potensi bencana, yang mana hal ini bisa dilakukan bersama-sama dengan menggandeng berbagai pihak.
”Sudah saatnya menepiskan hal-hal yang tidak penting, dan melakukan hal yang lebih penting, yaitu mengenali alam lingkungan sekitar kita sendiri,” ujarnya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edy Susanto mengatakan, kesadaran akan potensi bencana juga bisa menumbuhkan rasa persaudaraan dan ikatan persaudaraan baru dengan warga di tempat lain.
Sebagai bentuk antisipasi bencana, menurut dia, hal ini sudah dilakukan BPBD Kabupaten Magelang bersama masyarakat Kabupaten Magelang, dengan membuat program sister village. Dalam program tersebut, setiap desa yang berada dalam kawasan rawan bencana III bencana erupsi Gunung Merapi mendapatkan pasangan desa di kecamatan atau desa lain sebagai tempat tujuan mengungsi saat status Gunung Merapi meningkat menjadi Awas.
Sebelum mereka diwajibkan mengungsi, menurut dia, saat ini masing-masing desa pun sudah saling melakukan anjangsana, saling mengunjungi satu sama lain. Selain menguatkan tali silaturahmi, hal ini sekaligus dilakukan sebagai bentuk persiapan, yang nantinya akan semakin memudahkan upaya mengungsi.
Edy mengatakan, konsep kekeluargaan ini diyakini akan semakin memudahkan upaya mitigasi bencana.
”Saat akan atau sudah tertimpa bencana, setiap orang pasti akan mencari perlindungan, atau tempat aman di rumah kerabat atau saudara dekat. Dalam hal ini, kami pun juga mencoba menciptakan adanya saudara-saudara dekat bagi warga dari tetangga-tetangga desa sekitar. Bagaimanapun tetangga adalah saudara kita yang terdekat,” ujarnya.
Dalam acara ”Refleksi Nusantara untuk Palu” tersebut, semua yang hadir, termasuk para seniman yang terlibat dan pentas, juga berusaha menjadi saudara dekat dari korban gempa dan tsunami di Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah. Dalam acara itu terkumpul uang donasi lebih dari Rp 5,5 juta. Selain itu, para seniman juga langsung melukis dan akan melelang 15 lukisan mereka, di mana semua uang penjualan akan disumbangkan ke Sulawesi Tengah.
Bukankah jauh lebih menyenangkan menebarkan ikatan rasa kekeluargaan ketimbang menghamburkan ujaran kebencian?