PADANG, KOMPAS - Otoritas Jasa Keuangan memberikan keringanan pembayaran utang bagi para korban gempa-tsunami di Sulawesi Tengah. Para korban pun bisa mengajukan pinjaman baru.
Otoritas Jasa Keuangan telah menetapkan status ”kondisi khusus” bagi industri jasa keuangan di Palu dan Donggala serta wilayah terdampak gempa dan tsunami lainnya di Sulawesi Tengah. OJK memberikan keringanan kepada korban gempa yang memiliki utang dari lembaga keuangan setempat.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida, Jumat (5/10/2018), di Padang, mengatakan, kebijakan OJK tersebut mengacu pada Peraturan OJK Nomor 45/POJK.03/2017 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.
”Kami melihat dampaknya (gempa bumi dan tsunami di Sulteng) besar sekali. Karena itu, misalnya untuk Palu, kami sudah berikan kondisi khusus untuk penanganan jasa keuangan. Misalnya, kredit yang ada di sana, ada keringanan,” kata Nurhaida.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memaparkan, jumlah kredit yang telah disalurkan di tempat bencana hingga 31 Agustus 2018 mencapai Rp 16,6 triliun. Jumlah itu terdiri dari Rp 14,34 triliun untuk Kota Palu, Rp 233,88 miliar untuk Kabupaten Donggala dan Sigi, serta Rp 2,02 triliun untuk Kabupaten Parigi Moutong.
Wimboh, yang ditemui di Jakarta, Kamis lalu, mengatakan, mereka belum mengetahui jumlah kredit yang akan menerima restrukturisasi dari total angka Rp 16,6 triliun itu. Namun, perlakuan kepada debitor yang meninggal akan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan bank, seperti hapus buku atau pembebasan utang.
Restrukturisasi kredit korban bencana terhadap kondisi keuangan, khususnya kredit bermasalah, tidak akan berdampak negatif karena kredit di lokasi bencana hanya 0,3 persen dari total kredit perbankan di seluruh Indonesia (Kompas.id, 4/10/2018).
”OJK masih memverifikasi angka kredit perbankan yang terdampak bencana. Ketika angkanya sudah ada, akan diambil keputusan yang tepat bagi perbankan,” kata Wimboh.
Beri kelonggaran
Wimboh menambahkan, bank dianjurkan untuk memberikan kelonggaran kepada debitor yang daerahnya terkena bencana. Kelonggaran ini berupa penundaan penagihan kredit dan bunga pinjaman bagi debitor yang terdampak bencana. Penundaan dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau hingga kondisi
perekonomian kembali pulih.
Selain itu, debitor juga dapat memperoleh pinjaman baru agar bisa memperbaiki kondisi ekonominya. Pinjaman ini juga untuk mendorong pemulihan perekonomian. ”Bagi korban meninggal, pengurusannya diproses sebagaimana ketentuan perbankan,” ujar Wimboh.
OJK mempunyai pengalaman merestrukturisasi kredit perbankan pada daerah yang terkena bencana di Indonesia. Perbankan akan direstrukturisasi pembiayaan kreditnya berdasarkan penghitungan dampak bencana.
”Masyarakat diharapkan juga melapor ke bank untuk data restrukturisasi. Dampak bencana ke perbankan relatif kecil, tetapi langkah yang tepat perlu dilakukan agar pemulihan ekonomi berjalan dengan cepat,” ujarnya.
Perbankan akan direstrukturisasi sebagian atau seluruh kreditnya berdasarkan besaran kredit yang terdampak bencana. Namun, bank juga dapat mengambil kebijakan sendiri berdasarkan aturan mereka untuk pemulihan perbankan.
Wimboh menambahkan, berdasarkan aturan, waktu untuk restrukturisasi berkisar dua-tiga tahun. Restrukturisasi perbankan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pascabencana berlangsung selama tiga tahun karena disesuaikan dengan pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan perbankan. Sementara untuk wilayah terdampak bencana di Sulawesi Tengah akan disesuaikan seperti halnya di Lombok.
OJK juga mencatat nilai pinjaman perusahaan pembiayaan di tiga daerah tersebut sebesar Rp 370 miliar. OJK masih melakukan verifikasi jumlah kredit terdampak bencana pada asuransi ataupun jaminan lainnya. ”Saat ini, yang paling penting adalah pemulihan kondisi perekonomian hingga berjalan normal lagi,” kata Wimboh.