Mereka Melawan Trauma
Bencana dahsyat meninggalkan trauma bagi mereka yang mengalami. Penyembuhan trauma menjadi penting agar ketakutan korban berkurang dan sikap hidup kembali positif.
Taman di halaman Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, Sulawesi Tengah, yang dipenuhi tenda pengungsi gempa-tsunami Sulteng, Jumat (5/10/2018) sore, tampak riuh. Udara panas beberapa jam sebelumnya mulai menjadi sejuk.
Suasana penuh senyum dan tawa bocah-bocah yang larut dalam kegembiraan.
”Siapa yang bisa nyanyi lagu ’Balonku’? Nanti dapat hadiah,” ujar Muhammad Mukhlis, asisten apoteker RS Pertamedika yang menjadi petugas Posko Pertamina Peduli di pusat pengungsian tersebut.
Tawaran Mukhlis langsung disahuti hampir bersamaan belasan bocah yang mengerubunginya. ”Saya! Saya! Saya!”
”Tapi, semua huruf vokalnya diganti o ya,” kata Mukhlis. Awalnya, bocah-bocah itu kebingungan. Tapi, saat Mukhlis memberi contoh, anak-anak segera paham dan ikut bernyanyi.
”Bolonko odo lomo. Ropo-ropo wornonyo,...,” Lirik yang diubah menjadi aneh sekaligus lucu itu membuat semua bocah tertawa. Orangtua mereka yang melihat dan mendengar dari kejauhan juga tersenyum.
”Kasihan anak-anak. Sejak gempa mereka jadi sering takut. Bagus ada permainan seperti ini, jadi mereka bisa senang,” ujar Hanira (35), pengungsi yang menemani dua putrinya dalam aktivitas itu.
Bernyanyi dan bermain sore itu merupakan bagian dari program penyembuhan trauma (trauma healing) yang digelar Posko Pertamina Peduli.
Kegiatan selama satu jam yang kini sudah masuk hari kedua itu mengemban misi mengusir trauma pada anak-anak setelah mengalami bencana dahsyat.
Selain bernyanyi, Mukhlis dan rekannya, Ivan, mengajak anak-anak melakukan permainan sederhana, memasukkan kayu ke dalam botol dan memindahkan balon berpasangan.
Anak-anak juga membuat pesawat terbang dari kertas. Saat menerbangkan pesawat kertas itu bersama-sama, Mukhlis mengajak bocah-bocah itu meneriakkan ”Kami tidak takut!”
Hanira mengatakan, ketakutan yang dialami buah hatinya, Kirana (7) dan Nayla (9), terbawa hingga kini. ”Sekarang kalau tidur malam, mereka tidak mau ditinggal. Kalau ada gempa susulan, mereka sering menangis,” katanya.
Saat bermain dan bernyanyi bersama, Kirana dan Nayla tampak ceria. Mereka aktif mengikuti semua kegiatan. Sesekali keduanya tertawa lepas saat melihat polah teman-temannya.
Mereka seolah melupakan sejenak kengerian yang dialami saat bencana menerjang, Jumat pekan lalu. Hanira menuturkan, saat gempa berkekuatan M 7,4 mengguncang Palu, dia dan kedua putrinya ada di tempat tinggal mereka di lantai lima Rusunawa Kampung Lere, Kecamatan Palu Barat.
Hanira segera menggendong Kirana di satu tangan dan menuntun Nayla untuk bergegas menuruni tangga. Sempat terjatuh dan terinjak penghuni lain yang juga berhamburan menyelamatkan diri, ibu dan kedua anaknya itu lolos dari maut.
Belum selesai kekalutan akibat gempa, tsunami menghantam. Rusunawa itu letaknya tak jauh dari pesisir. Ketiganya pun kembali berlari sejauh mungkin ke dataran tinggi hingga akhirnya mengungsi di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri.
Mengigau dan histeris
Trauma serupa dialami anak-anak lain yang mengungsi di lokasi itu. Ada yang langsung menutup mata saat gempa susulan terjadi, ada juga yang mengigau saat tidur.
Selain trauma, anak-anak itu juga dihinggapi rasa jenuh setelah tinggal di pengungsian selama seminggu ini.
Berbagai sentuhan kecil namun bermakna, seperti permainan yang menimbulkan kegembiraan, sangat berarti bagi mereka. Di pos pengungsian Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan bandara, kerewelan tiga bersaudara, Ifah (7), Lutfi (5), dan Ikki (3), di tenda yang gerah langsung reda saat menerima mainan.
Satu karung mainan dikirimkan oleh para penyuluh pertanian Satuan Administrasi Pangkalan Bitung, Sulawesi Utara, ke tenda mereka. Mainan berupa lego dan miniatur dinosaurus beragam jenis dan warna tersebut langsung menjadi pusat perhatian mereka.
Ibu anak-anak itu, Eda bin Muskari (32), mengatakan, anak-anaknya menjadi rewel selama di pengungsian. Mereka juga didera ketakutan setiap ada getaran.
Saat mendengar suara pesawat yang keras, mereka menjerit histeris. Eda pun langsung memeluk buah hatinya. ”Mereka ketakutan,” ujar Eda.
Dr Andi Syukur, anggota tim medis yang bertugas di Posko Pertamina, mengatakan, penyembuhan trauma, khususnya pada anak-anak, akan diusahakan setiap hari. Hal itu untuk membuat anak-anak segera melupakan ketakutan dan kenangan buruk tentang bencana itu.
”Kecepatan untuk pulih dari trauma bervariasi pada setiap anak. Ada yang cepat, ada yang lambat. Dari pengalaman menangani trauma pada korban gempa Lombok, 2-3 kali sesi sudah membaik,” ujar Syukur.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa juga mengalami trauma. Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan, gangguan kejiwaan mulai dialami beberapa pengungsi.
Gangguan ini antara lain stres di pengungsian atau gangguan kejiwaan karena kehilangan anggota keluarga. ”Psikoterapi akan dilakukan bagi mereka yang mengalami kondisi itu,” katanya.
Menurut Yurianto, penyembuhan trauma untuk warga Sulteng menjadi tugas bersama semua pihak. Trauma healing ini berlomba melawan pembangkitan trauma (trauma building) yang terus berlangsung.
Tayangan media yang masih memperlihatkan kejadian bencana menambah trauma korban. Kondisi ini diperparah dengan beredarnya hoaks mengenai Palu yang akan tenggelam.
Ada baiknya, tayangan memperlihatkan hal-hal positif yang menambah semangat dan mengurangi trauma korban bencana. (ENG/IRE/REN)