Lasem Didorong Menjadi "Kota Toleransi" Pertama di Jateng
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS – Kota Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dipersiapkan menjadi Kota Toleransi pertama di Jawa Tengah. Lasem dinilai pantas mendapat branding tersebut karena harmoni budaya dan praktik toleransi antara warga Tionghoa, Jawa, dan Arab yang telah berlangsung ratusan tahun.
Pimpinan Pondok Pesantren Kauman Lasem, KH Muh Zaim Ahmad Ma’shoem atau akrab dipanggil Gus Zaim, Kamis (4/10/2018) mengatakan, kehidupan saling menghargai antaragama dan suku di Lasem sudah ada sejak zaman dulu. Kota kecil yang menjadi pusat perdagangan besar di masa Hindia Belanda tersebut, pernah pula dipimpin seorang keturunan Tionghoa yakni Oe Ing Kiat.
“Banyak pula tokoh Islam Jawa yang juga pemimpin perang seperti KH Ali Badawi dan Raden Panji Margono yang justru bahu membahu mewujudkan kerukunan umat di Lasem,” ujar Zaim.
Berdasar sejarah panjang kerukunan umat beragama di Lasem, fokus pengembangan kampung di Kauman, misalnya, mencerminkan kehidupan toleransi. Menurut Zaim, di kampung Kauman berdiri Masjid Jami’ Lasem yang didirikan pada 1588 bersanding dengan kelenteng, gereja, dan wihara.
Dalam sejarah Islam, Lasem juga menjadi tempat referensi jaringan silsilah dan geneologi keilmuan pondok pesantren. Hal ini tak terlepas dari peran Mbah Sambu atau Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Ada pula pondok pesantren Al Hidayat yang didirikan almarhum KH Ma’shoem Ahmad pada 1916 di Desa Soditan.
“Pondok Pesantren Al Hidayat akan melaksanakan peringatan satu abad Qudsiyah Ponpes Al Hidayat yang berangsung pertengahan November,” kata dia.
Menurut Zaim, harmoni sosial dan kehidupan toleransi di Lasem tidak lepas dari teladan para tokoh masyarakat dan agama yang senantiasa mengedepankan sikap saling menghargai juga tenggang rasa. “Dalam isitilan pesantren, hidup harmoni saling tenggang rasa itu disebut tasamuh,” ujar Zaim, juga salah satu pengasuh Ponpes Al Hidayat di Lasem.
Sekretaris Takmir Masjid Jami’ Lasem, Rembang, H Abdul Azis mengatakan, sebagai kota kecil di jalur pantura Jawa, Lasem dengan penduduk sekitar 50.000 keluarga ini masih terus menjaga serta melestarikan harmoni dan saling tenggang rasa di masyarakat.
Perwujudan itu tidak hanya dalam kehidupan sosial saja, tapi juga praktik bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal. Sudah hal biasa, jabatan ketua Rukun Tetangga atau ketua Rukun Warga di kampung yang didominasi orang Jawa dijabat oleh keturunan Tionghoa dan juga sebaliknya.
“Kalau merayakan Lebaran, warga Tionghoa juga datang untuk bersilaturahmi. Begitu pula sebaliknya di saat perayaan Imlek maupun Natal, semua warga saling memberikan salam. Ini kehidupan yang menunjukkan bahwa di Lasem, toleransi sudah berlangsung sangat lama,” ujar Azis.
Untuk itu, pihaknya juga ikut menyiapkan Kota Lasem sebagai kota toleransi setidaknya yang pertama di Jawa Tengah. Rencana itu terus dimatangkan termasuk berkonsultasi dengan pemerintah pusat.
Pengusaha batik yang juga Ketua Klaster Batik Lasem, Santoso (61) menuturkan, pedagang asal Tionghoa datang ke Lasem sekitar abad ke-15 dengan membawa kerajinan batik. Kehidupan harmoni juga sangat mewarnai batik asal Lasem itu bisa dilihat dari perpaduan corak dari motif-motifnya.
Batik motif Tiga Negeri, misalnya, menjadi bukti akulturasi budaya hidup masyarakat. Proses pembuatan motif tersebut melibatkan perajin di Solo, Lasem, dan Pekalongan. Beberapa motif seperti bunga, juga burung phoenix dan merak serta binatang mitologi Tionghoa seperti naga menjadi ikon batik Lasem yang diproduksi warga asli Lasem.