MALANG, KOMPAS — Petani kopi di Malang, Jawa Timur, didorong mengembangkan kopi, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Peluang untuk ekspor kopi pun terbuka. Selama ini, perusahaan kopi di Malang mendatangkan kopi dari daerah lain akibat produksi petani setempat kurang mencukupi.
Hal itu dikatakan Bupati Malang Rendra Kresna pada acara pameran Malang Kopi Etnik 2018 bertajuk ”Merajut Kopi Nusantara dan Batik Nusantara” di halaman KUD Karangploso, Malang, Jawa Timur. Acara yang dimotori Komunitas Kopi Sayap Timur itu menyuguhkan produsen pengolah kopi dari sejumlah daerah di Jatim. ”Kebutuhan dunia akan kopi Indonesia sangat tinggi,” ujarnya.
Rendra mencontohkan eksportir kopi di Kecamatan Dampit, yakni PT Asal Jaya, yang memiliki kuota ekspor kopi hingga 70.000 ton per tahun. Namun, dari jumlah tersebut, baru separuh yang bisa dipenuhi petani kopi di Malang. Sisanya, PT Asal Jaya harus mendatangkan kopi dari daerah lain, termasuk luar Jawa, seperti Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara.
Oleh karena itu, menurut Rendra, petani perlu terus diberi semangat agar mau menanam kopi lagi. Bagaimana agar kopi yang terjual dari Malang tidak lagi dalam bentuk biji mentah, tetapi produk jadi yang sudah ada di dalam kemasan.
Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Malang, luas total lahan kopi di Malang mencapai 20.000-an hektar, 14.000-an hektar di antaranya robusta. Kopi berkembang di lereng Gunung Semeru, Gunung Kelud, Gunung Kawi, dan Gunung Arjuna dengan produksi mencapai 10.000 ton per tahun.
Bahkan, kopi di lereng Kawi (Bangelan) merupakan kopi pertama yang dikembangkan oleh Belanda di Jawa pada tahun 1800-an.
”Sepuluh tahun lalu, banyak petani kopi di lereng Semeru yang mengganti tanaman kopinya dengan komoditas lain karena harga kopi saat itu tidak bisa diandalkan akibat masalah klasik. Jika sedang panen, harga anjlok. Namun, saat itu animo untuk menanam kopi muncul kembali,” katanya.
Bantuan
Menurut Rendra, yang didampingi Kepala Dinas TPHP Budiar Anwar, ada beberapa upaya riil Pemerintah Kabupaten Malang guna memacu semangat petani. Upaya yang dimaksud antara lain memberikan bantuan peralatan, pendampingan dan pelatihan, serta mengikuti pameran kopi di luar negeri.
Diakui Rendra, pihaknya memang belum bisa memberikan bantuan peralatan secara optimal kepada petani lantaran alasan keuangan yang terbatas. Untuk meningkatkan hal itu, pihaknya sedang berusaha meminta bantuan kepada pemerintah pusat.
”Kualitas kopi terkadang ditentukan oleh ketercukupan cahaya matahari saat panen. Kalau hujan, kualitas biji kopi jadi kurang bagus, kehitaman. Kami sudah berikan bantuan kepada petani, tapi masih sedikit, keuangan terbatas. Kami sedang minta bantuan alat pengering kopi ke pusat,” tuturnya.
Disinggung soal kopi asal Kecamatan Dampit yang kini dalam proses sertifikasi organik internasional, Rendra mendukung penuh upaya-upaya untuk meningkatkan perkopian di Malang. Sebab, langkah itu akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Tahun 2017, kopi Dampit juga mengantongi sertifikat organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman.
Secara terpisah, pendamping petani kopi Dampit, Jajang Somantri, mengatakan, sertifikat organik internasional baru turun tahun depan. Saat ini prosesnya masih pra-assessment, dilakukan verifikasi ke kebun dan lahan petani.
”Kami masih melakukan pencatatan dan dokumentasi untuk persiapan assessment. Assessment-nya tahun depan sekaligus terbit sertifikat,” ujarnya.