Menanti Jawaban Berselimut Trauma
Gempa-tsunami yang mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, menyisakan kesedihan beruntun. Korban didera trauma seakan tak berkesudahan. Perasaan keluarganya pun berkecamuk menunggu dalam ketidakpastian.
Gatih Dwi Astuti (33) terbaring di ruang perawatan bersalin RSUD Sayang Rakyat, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (30/9/2018). Tangannya memegang perut buncitnya. Dia tengah mengandung. Saat ini, kandungannya memasuki bulan kesembilan.
Gatih bukan warga Makassar. Dia bersama suami dan dua anaknya adalah penyintas dari gempa dan tsunami Palu. Sudah dua hari dia dirawat di rumah sakit itu.
Meski tak merasakan lagi getaran gempa yang membuatnya khawatir, ingatannya masih diselimuti kekhawatiran. Sulit baginya melupakan bencana alam yang memakan banyak korban jiwa itu. ”Di pesawat (Hercules), saya sempat kontraksi sambil memegang perut. Waktu gempa terjadi, sempat terjatuh beberapa kali karena lari dari lantai dua rumah saya,” ujar Gatih.
Suyatno (38), suami Gatih, juga merasakan trauma yang sama akibat kejadian yang melumpuhkan Palu dan sekitarnya itu.
”Saya melihat korban di sela-sela bangunan. Jenazah anak kecil tergeletak. Maunya tinggalkan Palu. Kalau masih injak Palu, saya masih takut. Saat tiba di Makassar, perasaan mulai tenang,” ujar wiraswasta yang mendapat pakaian dari perawat karena hanya membawa selembar baju.
Trauma akan bencana gempa juga membuat James Brian (28) belum tahu kapan ingin kembali ke kampung halamannya di Palu. Rumahnya di Petobo, Palu, seluas sekitar 60 meter persegi rata dengan tanah setelah dihantam lumpur pascagempa.
Dalam video yang viral, rumah di daerah itu hanyut terbawa lumpur yang terlikuefaksi.
Beruntung, istri, mertua, dan dua anaknya, Jasmin (6) dan Josepan (4), selamat. Sejak Sabtu (29/9/2018) malam, mereka mengungsi ke Asrama Haji Sudiang, Makassar. Di ruangan berisi empat ranjang tanpa kipas angin itu, mereka menenangkan diri.
Tak mudah bagi mereka untuk bisa ke Makassar. Keluarga itu harus melewati lautan manusia di Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu sebelum ikut pesawat Hercules milik TNI. Berebut mendapat tiket menumpang Hercules harus dilakukan karena pelayanan bandara juga lumpuh akibat gempa.
Landas pacu retak. Bangunan navigasinya ambruk. Penerbangan komersial pun untuk sementara waktu ditiadakan.
”Kami juga berebut makanan dan air minum. Semua toko dan pasar tutup. Saya sampai memohon untuk bisa membeli nasi putih dan air mineral seharga Rp 20.000. Saat itu, anak saya belum makan,” ungkapnya.
Tidak pasti
Kini, bukan hanya trauma yang membuatnya sedih. Orangtuanya dan kakaknya di Kabupaten Sigi, Sulteng, belum diketahui keberadaannya. Sinyal telekomunikasi belum sepenuhnya pulih. ”Apalagi, orangtua saya punya penyakit jantung,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Di Pangkalan Udara TNI AU Sultan Hasanuddin, Maros, Sulsel, ribuan keluarga korban juga berharap dalam cemas. Mereka harus menunggu hingga dua hari untuk ikut terbang dengan pesawat Hercules menuju Palu.
Mereka ingin memastikan kondisi keluarganya di Palu dan Donggala. Tidak hanya berdiri berjam-jam, mereka juga duduk bahkan tidur di rerumputan dekat landasan.
”Komandan, tolong saya mau ikut naik Hercules. Istri dan empat anak saya hilang. Saya asli warga Sigi,” kata Roy Tiwa (45) sembari menunjukkan kartu identitasnya. Saat gempa terjadi, dia tengah merantau di Berau, Kalimantan Timur.
Wajahnya penuh harap dan cemas. Tangannya mencengkeram pagar besi pembatas antara landas pacu dan kantor Lanud Sultan Hasanuddin.
Berharap tempat di Maros bukan usaha pertamanya. Ketika mendengar gempa mengguncang Palu dan Donggala, Jumat lalu, ia segera mencari tiket ke Palu dari Berau.
Setelah sempat bermalam di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan, ia akhirnya tiba di Makassar pada Minggu dini hari. Hanya tas kecil berisi air mineral dan berlembar-lembar uang Rp 50.000 yang merupakan sisa gajinya.
”Bukan apa-apa, istri dan anak saya kehabisan dana di sana. Mereka mau makan apa di sana?” ujarnya dengan suara lirih.
Komunikasi terakhir dengan anaknya berlangsung beberapa menit sebelum gempa. Ketika itu, anaknya hanya berteriak, ”Rumah rata dengan tanah. Mama... mama...”. Setelah itu, jaringan hilang dan nomornya tak dapat dihubungi hingga kini. Semuanya jelas membuatnya semakin gelisah. Hidupnya tak tenang.
Kegelisahan serupa dialami Saleh Hariwibowo (25). Sudah sehari semalam ia menanti di Lanud Sultan Hasanuddin. Namun, ia belum dapat menghubungi kedua saudaranya di sana.
”Rumah kami di Palu rusak karena gempa. Saya harus pulang ke sana. Setidaknya, saya bisa mencari mereka dan tahu kondisinya, hidup atau meninggal,” ujarnya dengan mata memerah karena kurang tidur bercampur haru.
Terbatas
Sejumlah keluarga korban bahkan sempat cekcok dengan petugas karena tak kunjung berangkat. Padahal, persyaratan seperti fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga telah dikumpulkan di bagian pendaftaran. Keluarga korban harus berbagi tempat dengan sukarelawan, tim medis dan bagian logistik yang akan dikirim ke Palu untuk misi kemanusiaan.
Kepala Penerangan Lanud Sultan Hasanuddin Mayor Sus Henny P mengatakan, telah berupaya maksimal menyediakan tempat bagi keluarga korban ke Palu. Namun, hanya tersedia enam penerbangan dari Makassar menuju Palu dengan jadwal pagi hingga sore. Itu pun dengan bantuan armada Hercules dari Malang. ”Setiap penerbangan mampu mengangkut sekitar 100 penumpang, sedangkan keluarga korban mencapai ribuan per hari,” ujar Henny.
Menurut dia, saat ini pihaknya fokus pada pemulihan pascagempa di Palu. Oleh karena itu, selain kebutuhan logistik, Hercules diprioritaskan mengangkut tim SAR, TNI, serta petugas Air Traffic Control untuk memperbaiki bandara di Palu. Penerbangan ke Palu, lanjutnya, akan tetap berlanjut hingga beberapa hari ke depan.
Selain terbatasnya penerbangan ke Palu, informasi tentang korban gempa yang datang ke Makassar belum terpadu.
Korban gempa ada yang disarankan ke Asrama Haji Sudiang, dibawa pulang keluarganya, dan sejumlah rumah sakit karena menderita luka-luka. Kondisi ini membuat keluarga korban sulit memantau keluarganya.
”Saya sudah keliling ke RS Lanud Sultan Hasanuddin dan RSUD Daya. Namun, keluarga saya dari Palu tetap tidak ada,” ujar Sukmawati Lanbaru (48) yang juga telah mendatangi Asrama Haji Sudiang.
Ia cemas. Rumah keluarganya di perbatasan Donggala-Palu ambruk dan terbakar. ”Tiang listrik jatuh menimpa rumah lalu terbakar. Minggu pukul 03.00, kakak saya menelepon, tetapi tidak ada suara. Setelah itu, telepon sudah tidak tersambung,” ujarnya.
Khaedir (39), warga Makassar, juga berharap perbaikan sarana seperti listrik dan jaringan telekomunikasi sangat dibutuhkan.
Ia ingin segera mendengar kabar anak dan istrinya. ”Hati ini tidak tenang. Kalau sampai suatu waktu tidak ada kendaraan menuju Palu, saya akan nekat jalan kaki ke sana,” katanya.
Di antara pelukan bencana alam yang tak pasti, semuanya penuh tanda tanya. Secuil harapan bakal jadi emas berharga bagi penyintas dan korban. (Saiful Rijal Yunus/Abdullah Fikri Ashri)