BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, bersama instansi terkait membentuk satuan tugas penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar. Pembentukan satgas itu dilakukan untuk mengantisipasi dan menangani konflik satwa dengan manusia yang rentan terjadi di wilayah tersebut.
Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal dalam siaran persnya, Selasa (25/9/2018), mengatakan, pembentukan satgas diharapkan dapat menangani konflik satwa dan manusia di Pesisir Barat. Selain melibatkan pemerintah dan instansi terkait yang menangani konservasi satwa, masyarakat sekitar kawasan hutan juga dilibatkan. Dengan begitu, masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam penanganan konflik.
Sebagai kabupaten yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), potensi konflik antara satwa liar dan manusia rentan terjadi. Tidak hanya mengancam kelestarian satwa, konflik itu juga menimbulkan korban jiwa.
”Kami berharap pembentukan satgas ini dapat membantu dan bermanfaat bagi masyarakat, terutama yang tinggal di dekat kawasan hutan,” kata Agus dalam siaran persnya.
Berdasarkan catatan Kompas, konflik antara gajah dan manusia di Lampung sudah terjadi lebih dari satu tahun terakhir. Bahkan, konflik satwa dengan manusia itu menimbulkan tiga korban jiwa.
Kasus terakhir, sekawanan gajah liar menyerang dua warga yang sedang menjaga kebun di kawasan hutan produksi terbatas di Kecamatan Pemerihan, Pesisir Barat, Lampung, Rabu (15/8/2018). Kedua warga itu adalah Saudah (60) dan Nasrudin (65).
Saat diserang gajah liar, pasangan suami istri itu berada di gubuk di tengah hutan. Saudah tewas di tempat karena serangan gajah. Sementara Nasrudin meninggal setelah dibawa ke klinik terdekat. Dia diduga meninggal akibat serangan jantung karena shock berat atas peristiwa penyerangan itu.
Satu bulan sebelumnya, Surip (70), warga Tanggamus, juga tewas terinjak gajah. Saat itu, dia berusaha mengusir gajah dari kebun yang dijaganya di kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Tanggamus.
Berdasarkan catatan tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu, sedikitnya telah terjadi 62 konflik antara gajah dan manusia di kawasan TNBBS tahun ini. Konflik paling banyak terjadi di Kabupaten Tanggamus dan Pesisir Barat.
Perlu pendampingan
Project Leader WWF Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles mengatakan, masyarakat perlu mendapatkan pendampingan agar mampu mengantisipasi dan menangani konflik secara tepat. Warga yang bermukim di sekitar hutan harus diberikan penjelasan bahwa hutan merupakan habitat satwa. Masyarakat juga harus dibekali dengan semangat konservasi dan kapasitas penanganan konflik.
Dia mencontohkan, masyarakat perlu memahami cara menghalau gajah liar agar tidak mendekat ke permukiman warga. Salah satunya, dengan menghalau gajah menggunakan suara dentuman dari drum. Warga juga harus paham bahwa mereka sebaiknya menjauhi area jelajah gajah.
Selain pembentukan satgas, sejumlah pemerhati pemerintah juga segera membentuk elephant response unit atau conservation response unit untuk menangani konflik itu.