Risma Bagikan Pengalaman Tangani Teror dalam Forum Kontraterorisme Global
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi pembicara pada Forum Global Counterterrorism di New York, Amerika Serikat, Selasa (25/9/2018) waktu setempat. Dalam kesempatan itu, Risma membagikan pengalaman dalam memulihkan Surabaya setelah teror bom pada Mei 2018.
Risma mengatakan, teror bom yang mengguncang Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, Gereja Pusat Pantekosta Surabaya, dan Markas Polrestabes Surabaya mengejutkan warga. Terlebih, teror itu mengakibatkan korban meninggal dan korban luka dari warga sipil.
”Teror bom ini berbeda dengan yang terjadi sebelumnya di Indonesia karena melibatkan perempuan dan anak-anak,” ucap Risma dalam keterangan pers yang diterima Kompas.
Suasana damai di kota yang dihuni lebih dari 3 juta jiwa ini mendadak terkoyak. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Surabaya bergerak cepat dan melakukan langkah-langkah spesifik dengan menggandeng semua pemangku kepentingan untuk memulihkan kondisi Surabaya. Kerja sama sejumlah pihak diyakini membuat penanganan lebih kuat dan cepat.
”Pemkot Surabaya bekerja sama dengan asosiasi dokter serta semua rumah sakit di Surabaya untuk fokus membantu korban yang terluka. Kami juga bekerja sama dengan petugas kepolisian, terutama Detasemen Khusus 88, untuk mengungkapkan data para pelaku. Rekaman kamera pengawas yang kami pasang di beberapa titik bermanfaat untuk mencari data pelaku teror,” tutur Risma.
Selain itu, data yang ada di kamera pengawas digunakan untuk mengidentifikasi pelaku dari data kependudukan yang tersimpan di pusat data. Ciri-ciri fisik pelaku dicocokkan dengan informasi dari keluarga pelaku teror guna mengungkap jaringan teroris tersebut. Informasi itu digunakan untuk menangkap jaringan lainnya agar gagal melakukan aksi teror lanjutan.
Teror bom itu juga menyebabkan trauma bagi anak-anak. Oleh karena itu, Risma langsung meliburkan kegiatan sekolah selama beberapa hari karena anak-anak dan orangtua masih ketakutan berada di luar rumah.
Namun, ketika masuk, program pemulihan trauma bagi anak-anak sekolah menjadi menu utama sehari-hari. ”Pemkot Surabaya bekerja sama dengan psikiater untuk memulihkan trauma yang dialami anak-anak,” ucapnya.
Pengalaman Surabaya dalam menangani ancaman terorisme dengan melibatkan banyak pihak bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain.
Di sektor ekonomi, dampak teror bom hanya terasa sekitar satu minggu. Pusat-pusat perbelanjaan yang penjualannya turun selama seminggu kembali ramai. Bahkan, Risma selalu berkeliling ke pusat perbelanjaan di Surabaya untuk membuktikan dan memberi contoh kepada warga agar tidak takut bepergian ke pusat perbelanjaan.
Untuk pencegahan, Risma mengajak sejumlah elemen masyarakat mengidentifikasi potensi teror di sekeliling mereka. Selama beberapa hari, Risma mengumpulkan kepala sekolah, guru agama, pengurus masjid, dan pengamat jentik nyamuk yang biasanya masuk ke rumah-rumah warga.
”Mereka kami minta untuk melaporkan kapan pun mereka menemukan sesuatu yang mencurigakan di rumah warga,” ujarnya.
Teror bom itu memberi pelajaran tersendiri bagi Pemkot Surabaya untuk terus berbenah. Dua minggu setelah teror, Risma meluncurkan aplikasi SIPANDU untuk mencegah terorisme dan radikalisme di tengah-tengah warga. Dengan aplikasi ini, warga bisa mengirimkan laporan tentang orang-orang yang mencurigakan di daerah mereka.
Dia mengingatkan, pihaknya membuka saluran nomor darurat 112 bukan hanya untuk laporan bencana, melainkan juga bisa digunakan untuk melaporkan dugaan jika ada orang mencurigakan yang berpotensi melakukan tindak terorisme.
”Saya berharap pengalaman Surabaya dalam menangani ancaman terorisme dengan melibatkan banyak pihak bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain. Saya kira, ini adalah cara terbaik dalam memerangi terorisme dan radikalisme di tingkat lokal,” tutur Risma.