BANDUNG, KOMPAS — Permasalahan agraria menjadi perhatian global karena menyangkut kesejahteraan dan berdampak internasional. Regulasi yang tepat dan kolaborasi dari sejumlah pihak diperlukan untuk mencegah intimidasi dan kriminalisasi yang melanggar kemanusiaan dalam pembelaan lahan.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin, Selasa (25/9/2018) di Bandung, menyatakan, problem agraria tidak hanya mencakup lokal, tetapi juga masalah global karena menyangkut investasi dan agenda politik. Permodalan internasional memiliki peran dalam melancarkan praktik perampasan tanah sehingga pemilik lahan dirugikan.
”Investasi yang masuk ini butuh tanah, seperti tambang, perkebunan, infrastruktur, dan sebagainya. Jika politik di suatu negara rapuh, praktik perampasan tanah akan mudah dilakukan dan akhirnya merugikan negara tersebut,” ujarnya.
Menurut Iwan, permasalahan lahan ini membutuhkan reforma agraria sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, terutama petani sebagai pemilik lahan. Jika dibiarkan, lemahnya petani akibat perampasan lahan ini berimbas pada buruknya kualitas pangan dan bisa memengaruhi berbagai aspek.
Petani yang tidak memiliki lahan, lanjut Iwan, juga akan kesulitan mencari pekerjaan dan terpaksa menjadi penganggur dan jatuh miskin. Sebagian petani akan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal sehingga menambah permasalahan.
Menurut Iwan, politik yang lemah menyuburkan praktik kriminalisasi terhadap pemilik lahan dan aktivis pembela tanah demi mendapatkan lahan. Oleh karena itu, perlu regulasi yang bisa mengikat agar proses peralihan lahan bisa diamati sehingga praktik kriminalisasi bisa diminimalkan.
”Tidak hanya kriminalisasi, praktik kekerasan, bahkan pembunuhan, juga kerap dilakukan petugas keamanan perusahaan. Kolaborasi dari berbagai pihak diperlukan untuk menghindari hal tersebut, terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau media massa,” ujarnya dalam Global Land Forum (GLF) 2018.
GLF merupakan forum internasional terbesar menyangkut permasalahan lahan dan reforma agraria. Salah satu pembicara, Leiria Vay dari Comite de Desarrollo Campesino (CODECA)—organisasi pembela hak tanah dari Guatemala—menyatakan, di negaranya, para pemilik modal biasanya membuat mekanisme yang menjadikan pemilik dan pembela lahan seakan-akan melawan pemerintah.
Vay menyebutkan, pemilik modal mencitrakan komunitas mereka berbahaya bagi pemerintah sehingga terjadi proses marjinalisasi. ”Mereka mencoba menghalangi langkah kami. Mereka menjebak kami. Tidak hanya banyak aktivis yang terbunuh, mereka juga menyakiti komunitas pemilik lahan dengan berbagai cara,” ucapnya.
Pergerakan global
Vay berharap, transformasi pemerintah dan perubahan dari semua pihak diperlukan untuk melawan praktik kekerasan untuk mendapatkan lahan ini. Perjuangan, lanjutnya, harus ditingkatkan ke ranah global sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa melihat perjuangan semua aktivis di berbagai belahan dunia.
Senada dengan Vay, Iwan menyebutkan, pergerakan global dibutuhkan agar masyarakat dunia melihat perjuangan aktivis dan pembela lahan dalam mempertahankan haknya. Kepedulian masyarakat global menjadi bentuk pengawasan eksternal agar praktik perampasan lahan bisa dihilangkan.
”Misalnya, satu perusahaan di Eropa akan investasi di sini, dengan bank mereka. Ternyata, mereka melakukan tindakan perampasan lahan. Kami suarakan dan terdengar oleh masyarakat Eropa. Kepedulian mereka bisa berakibat pada penarikan aset-aset di bank tersebut sehingga berpengaruh kepada perusahaan,” tuturnya.