Pencak Sumping Lestarikan Tradisi
Pencak sumping, tradisi masyarakat Osing di Dusun Mondoluko, Banyuwangi, memadukan gerakan bela diri dan kuliner khas mereka, sumping. Tradisi pencak dan sumping dalam ritual bersih desa merupakan lambang hubungan dengan Sang Pencipta, alam, dan manusia.
Belasan pemuda mengenakan baju serba hitam dengan udeng (ikat kepala) motif gajah oling khas suku Osing, Banyuwangi, asyik memperagakan jurus-jurus bela diri mirip pencak silat. Tak jauh dari mereka tersaji sepiring sumping, jajanan pasar khas Banyuwangi.
Seni bela diri pencak dan jajanan sumping merupakan dua hal tak terpisahkan dalam sejarah dan kehidupan masyarakat Dusun Mondoluko, Desa Tamansari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Para remaja berlatih mempertahankan diri dari pukulan, tendangan, bantingan, bahkan serangan senjata, misalnya pisau dan tongkat. Nama gerakan bela diri itu disebut pencak sumping.
”Gerakan-gerakan yang kami peragakan tidak terlalu berbeda dengan olahraga pencak silat. Yang berbeda adalah suguhan sumping. Ini yang membuat kami semangat berlatih,” ujar remaja Mondoluko, Dandy Rahardian, sambil membuka sebungkus sumping.
Sumping adalah jajanan pasar tradisional serupa nagasari. Keduanya terbuat dari bahan yang sama dan dimasak dengan cara serupa. Potongan pisang rebus dibalut tepung beras, dibungkus daun pisang, lalu dikukus. Cita rasa sumping merupakan perpaduan manis dan gurih. Bedanya, pisang dalam sumping, yakni pisang sobo, berukuran besar, sementara lapisan tepung berasnya tipis.
Pencak sumping merupakan bagian dari ritual bersih desa yang mengangkat tradisi bela diri dan kuliner khas Osing di Mondoluko.
Sajian tersebut cukup mengganjal perut setelah lelah berlatih pencak. Di setiap latihan atau pergelaran pencak, jajanan itu wajib tersedia. Tak jarang adegan makan sumping dilakukan di sela peragaan pencak.
Tradisi pencak sumping hidup di tengah masyarakat Mondoluko yang dulu bernama Kampung Alas. Sejak zaman penjajahan Belanda, pencak dan sumping menjadi bagian dari perjuangan masyarakat.
Kamis (23/8/2018), Ketua Adat Kampung Alas-Mondoluko Rayis menuturkan, tradisi pencak sumping tak hanya tentang bela diri dan kuliner sumping.
Pencak sumping merupakan bagian dari ritual bersih desa yang mengangkat bela diri dan kuliner khas masyarakat Osing.
Kisah perjuangan
”Kisah perjuangan nenek moyang kami dalam mempertahankan tanah air ada dalam pencak sumping. Melestarikan tradisi pencak sumping merupakan cara kami menghormati dan menunjukkan cinta kepada nenek moyang,” tuturnya.
Rayis mengisahkan, di zaman penjajahan Belanda, Kampung Alas berupa permukiman di tengah hutan. Lantas muncul seorang tokoh yang memimpin warga, Buyut Ido namanya.
Kemampuan Buyut Ido menggerakkan warga membuat pemerintahan Belanda khawatir akan muncul pemberontakan. Pemerintahan Belanda kemudian menerapkan politik pecah belah (divide et impera). Mereka mengadu warga Kampung Alas yang berada di sisi timur lereng Gunung Ijen dengan warga Kampung Belawan di sisi barat lereng Gunung Ijen.
Akibatnya, banyak orang Kampung Alas terluka, sekarat, bahkan tewas akibat perang saudara. Beberapa orang Kampung Alas menderita luka sobek di perut sehingga ususnya terburai (Jawa: modol-modol). Dari kisah itu lahir nama Mondoluko yang digunakan hingga kini.
Buyut Ido lantas sadar bahwa perang saudara tidak dapat dilanjutkan. Sebagai langkah antisipasi, Buyut Ido meminta warga untuk belajar bela diri.
Saat kaum lelaki belajar bela diri pencak, kaum perempuan membuat sumping. Jajanan itu dipilih karena bahan yang dipakai mudah didapatkan di sekitar Dusun Mondoluko, yakni beras dan pisang.
”Pencak sumping menjadi tradisi dan bagian dari ritual bersih desa yang diadakan seusai Idul Adha. Setiap acara bersih desa, warga berkeliling desa sambil mengucap istigfar, lalu mengadakan syukuran atas hasil bumi yang melimpah, dan mengidungkan Lontar Yusuf,” ujar Rayis.
Lontar Yusuf adalah kisah Nabi Yusuf yang ditulis di daun lontar. Lontar Yusuf tersusun atas empat bagian (pupuh), yang masing-masing bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf, yakni soal asmara (kasmaran), doa-doa (durma), alam dan kehidupan Yusuf (terutama saat dinobatkan menjadi raja), serta saat Yusuf berada di penjara (sinom).
Tradisi ini dilestarikan sebagai sarana berdoa kepada Allah agar kisah-kisah dalam lontar terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat.
Hubungan manusia
Pemerhati budaya Banyuwangi, Aekanu Hariyono, menjelaskan, pencak sumping menggambarkan konsep Tri Hita Karana dalam Hindu atau hablum minallah, hablum minannas, hablum minalalam dalam Islam. Konsep tersebut berarti terjalinnya hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, sesama manusia, serta manusia dan alam.
Hubungan dengan Tuhan dilakukan lewat pembacaan Lontar Yusuf dan lantunan istigfar. Hubungan dengan lingkungan dilambangkan dengan slametan sebagai ucapan syukur atas hasil bumi. Sementara bela diri pencak merupakan lambang hubungan antarsesama manusia.
”Budaya ini merupakan gambaran masyarakat agraris yang memiliki hubungan dengan Pencipta, lingkungan, dan sesamanya. Tradisi ini juga dapat dimaknai sebagai petuah untuk melestarikan lingkungan dan membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia,” tutur Aekanu.
Dia mengatakan, pencak sumping semula diciptakan untuk mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Bagi masyarakat agraris Osing, seni pencak tidak hanya untuk bela diri, tetapi juga disertai mantra dan ”lelaku” khusus untuk mengusir hama penyakit ataupun menangkal pengaruh gaib yang jahat.
Saat ini, seni bela diri tersebut dilaksanakan untuk memperkuat integritas sosial bagi masyarakat penyangganya. Ritual pencak sumping bukan hanya olahraga, seni, dan bela diri, melainkan juga sebagai sarana untuk bersyukur, media pembinaan mental spiritual, introspeksi, serta pengendalian diri.
”Tradisi ini hanya bisa dilaksanakan jika masyarakat mau melestarikan lingkungan. Tanpa ada lingkungan yang terjaga, pisang dan beras yang menjadi bahan utama sumping tidak akan tersedia,” ujarnya.
Karena itu, masyarakat Osing di Dusun Mondoluko menjadikan pergelaran pencak sumping sebagai puncak syukur karena alam masih memberi kesuburan bagi tanaman pisang dan beras mereka. Warga bersyukur karena tak ada lagi peperangan ataupun perkelahian yang menyebabkan anggota keluarga mereka terluka. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, sumber dari segala berkah yang mereka syukuri.