MALANG, KOMPAS — Kemarau membuat elevasi Waduk Sutami atau biasa disebut Waduk Karangkates di Kabupaten Malang, Jawa Timur, hingga pertengahan September, surut sekitar 8 meter dari elevasi tertinggi. Jika pada akhir musim hujan elevasi tertinggi permukaan air mencapai 272,04 meter di atas permukaan laut, elevasi saat ini 264,26 mdpl. Elevasi terendah Waduk Karangkates 259,97 mdpl.
Dari pengamatan di salah satu lokasi, yakni di Dusun Kecopokan, Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, Jumat (14/9/2018), tanda penyusutan air terlihat. Bibir waduk, yang biasanya terendam oleh air saat musim hujan, saat ini kering dan gundul. Batas air dengan daratan (lidah air) kini berjarak sekitar 20 meter dengan kondisi saat musim hujan.
Begitu pula jaring sekat milik nelayan, yang selama musim hujan teredam, kini terdampar di bibir waduk dengan tiang-tiang bambu menjulang. Sebagian bibir waduk dimanfaatkan oleh petani untuk menanam palawija. ”Setiap kemarau air waduk surut. Kondisinya sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini tidak lebih buruk dari tahun lalu,” ujar Suparmin (60), nakhoda perahu wisata.
Kemarau juga membuat usaha perikanan nelayan setempat terganggu. Hanya nelayan yang memiliki keramba jaring agak ke tengah yang masih bisa memelihara ikan. Berdasarkan catatan Kompas (tahun 2014) setidaknya ada 234 jaring keramba, 63 jaring sekat, dan 25 branjang di waduk itu dengan produksi ikan 2.787 ton per tahun.
Meski demikian, pihak Perum Jasa Tirta I mengatakan, kondisi elevasi waduk masih aman. Waduk akan kembali terisi saat musim hujan tiba. Biasanya waduk terisi selama 4-5 bulan musim hujan dan air yang tertampung akan dipakai selama 7-8 bulan (musim kemarau).
Direktur Utama Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant Ruritan, saat dihubungi melalui telepon, mengatakan, persediaan dan pelepasan air dari waduk Karangkates dan enam waduk lainnya (Waduk Sengguruh, Lahor, Selorejo, Wonorejo, Bening, dan Wonogiri) masih sesuai rencana (pola). Pasokan air untuk pengguna masih aman. Cadangan air untuk saat kekeringan belum dipergunakan.
Hingga awal November air waduk masih mencukupi untuk irigasi dan keperluan lainnya. ”Kalau volume air yang dikeluarkan sesuai pola (rencana), di awal November (awal musim hujan) nanti waduk sudah mulai terisi air. Jadi, sampai awal November masih aman,” ujarnya.
Bendungan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Brantas, menurut Raymond, mampu mengairi sawah seluas 83.000 hektar di sejumlah kabupaten, termasuk di dalamnya adalah air dari Bendungan Karangkates.
Tidak berpengaruh
Meski elevasi Bendungan Karangkates surut, sejumlah petani di Malang mengatakan tak terpengaruh. Mereka masih bisa mengolah lahan dan menanam padi dengan bantuan air irigasi dari mata air yang lain.
Berdasarkan pengamatan Kompas di daerah sentra beras, seperti Kecamatan Sumberpucung, Karangkates, Kepanjen, dan Pakisaji, sebagian petani tengah mengolah sawah. Ada juga petani yang baru saja menanam padi. Bahkan, ada yang sedang panen.
Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Malang Ali Masjudi mengatakan, dampak kemarau hanya dirasakan petani yang mengolah lahan tadah hujan. Petani yang berada di lahan irigasi tidak banyak terdampak. ”Petani di lahan tadah hujan umumnya menanam palawija. Jadi tidak banyak terdampak,” katanya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang Budiar Anwar membenarkan bahwa penyusutan air waduk tidak banyak berpengaruh terhadap petani. Sebagian besar petani memanfaatkan irigasi dari sumber air lain. Di Malang terdapat banyak sumber air yang mengairi wilayah pertanian tertentu.
Budiar mencontohkan, Jumat, ada proses tanam padi seluas 180 hektar dari total luas sawah di Kabupaten Malang yang mencapai 48.000 hektar. ”Sejauh ini belum ada laporan soal padi puso. Memang ada petani yang mengandalkan tadah hujan,” ucapnya.