JAYAPURA, KOMPAS — Program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Papua belum berjalan optimal. Rata-rata lama sekolah di Papua baru mencapai tujuh tahun, yakni dari kelas I sekolah dasar hingga kelas VII sekolah menengah pertama.
Hal itu disampaikan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Protasius Lobya di Jayapura, Jumat (14/9/2018). Protasius mengatakan, kondisi itu dominan terjadi pada siswa di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Menurut laporan dari lapangan yang diterimanya, Protasius mengatakan, angka putus sekolah siswa SD hingga SMP paling banyak berada di 15 kabupaten di wilayah Pegunungan Tengah Papua, di antaranya Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, dan Puncak Jaya.
Kondisi itu juga menyebabkan angka buta huruf di Papua masih tinggi. Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, angka buta huruf di Papua mencapai 24 persen atau sekitar 600.000 warga yang belum dapat membaca dan menulis.
”Siswa yang putus sekolah di 15 kabupaten itu biasanya berdomisili di pedalaman yang minim akses transportasi,” ujar Protasius.
Ia menuturkan, minimnya akses dan sarana transportasi membuat anak-anak kesulitan menjangkau sekolah. Sementara rata-rata sekolah terletak di ibu kota distrik (setingkat kecamatan).
Protasius mengemukakan, jarak ideal sekolah dengan rumah siswa seharusnya maksimal 3 kilometer. ”Namun, di pedalaman, jarak kampung ke sekolah bisa mencapai puluhan kilometer. Para siswa berangkat dari rumah pagi hari dan tiba di sekolah siang hari,” ujarnya.
Ia berpendapat, satu-satunya solusi untuk meningkatkan partisipasi wajib belajar di sekolah adalah membangun program sekolah berasrama di pusat distrik. Hal itu dapat dilakukan pemerintah daerah.
”Selain bangunan asrama, pemda juga harus menyediakan tenaga pengajar dan biaya operasional. Seharusnya dana otonomi khusus untuk sektor pendidikan juga dialokasikan untuk sekolah berbasis asrama,” tutur Protasius.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Tolikara Derwes Jikwa mengatakan, pihaknya telah membangun empat sekolah asrama sejak tahun 2015 untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Setiap sekolah menampung 100-200 siswa dari jenjang SD, SMP, hingga SMA.
”Ada empat distrik yang sudah memiliki sekolah berbasis asrama, yakni Kembu, Bokondini, Kanggime, dan Nabunage. Menurut rencana, kami akan membuka sekolah asrama di beberapa distrik lagi,” kata Derwes.