GIANYAR, KOMPAS - Keberadaan subak di Bali menghadapi beragam tantangan, mulai dari menyusutnya lahan sawah sampai berkurangnya petani lantaran semakin sedikit anak muda yang tertarik menjadi petani. Untuk itu, perlu terobosan agar bertani tetap menarik dan bergengsi supaya sawah di Bali tetap terjaga dan subak pun dapat lestari.
Demikian benang merah dari paparan peserta program sekolah magang lapangan Bali Internship Field School for Subak 2018 di Museum Subak Masceti, Gianyar, Bali, Jumat (7/9/2018). Program itu digelar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) bersama Universitas Kyoto, Jepang, dan didukung Pemerintah Kabupaten Gianyar. Program sekolah magang lapangan tahun ke-4 itu diikuti 17 peserta, termasuk tiga mahasiswa asing pascasarjana di Universitas Kyoto.
Peserta program dibagi dalam tiga kelompok tematik, yaitu petani, sawah, dan desa. Setiap kelompok memaparkan kondisi, tantangan, dan solusi dari tiap tema yang digarap. Ketiga tema itu saling berkaitan dan mencerminkan unsur-unsur subak di Bali.
Dalam kegiatan yang dimulai Senin (3/9) hingga Kamis itu, peserta mendatangi subak di Gianyar dan Karangasem untuk mengamati dan menemui petani atau pengurus subak setempat. Hasil observasi didiskusikan bersama pendamping. Peserta juga mendapat pembekalan dari ahli, yakni pakar subak Universitas Udayana, I Wayan Windia; I Gede Sedana dari Universitas Dwijendra; dan Naori Miyazawa dari Universitas Tokyo. Di akhir program, peserta membuat laporan kelompok.
Dalam pemaparan, kelompok petani menilai, kapasitas petani harus ditingkatkan, antara lain melalui pengenalan dan penerapan teknologi agar menjadi petani modern atau petani baru. Peningkatan kapasitas petani akan berdampak terhadap produksi sawah dan kesejahteraan petani.
Adapun kelompok desa menilai, diperlukan koordinasi antarsubak, baik dalam satu desa maupun antardesa, untuk menyiapkan subak agar tangguh, termasuk menghadapi bencana alam. Setiap subak saling terkait dan berkepentingan. ”Apabila terjadi bencana di daerah hulu, subak-subak yang berada di sekitar dan di hilirnya juga akan terdampak,” kata Coleman Yu, peserta dari Universitas Kyoto.
Subak juga akan terjaga apabila sawah mampu menyejahterakan petani. Sawah dapat ditingkatkan nilai ekonominya jika petani memanfaatkan lahan secara optimal, misalnya dengan menerapkan pertanian terintegrasi atau menggunakan pola pertanian perkotaan. Selain itu, daya tarik panorama sawah dapat dijual untuk pariwisata.
Terkait paparan itu, menurut Windia, peserta dari kalangan muda itu memiliki kepedulian untuk menggairahkan pertanian demi menjaga sawah.
”Mereka anak muda yang memahami dan menggunakan teknologi akan mampu membuat cara kreatif memviralkan pentingnya menjaga subak karena sawah merupakan penghasil dan penyangga ketahanan pangan,” kata Windia.
Kepala program sekolah magang lapangan yang juga Ketua BPPI, Catrini Pratihari Kubontubuh, mengatakan, program itu merupakan kepedulian pada subak sebagai warisan budaya dunia yang terancam keberadaan dan kelestariannya. (COK)