Upaya mencari tujuh petambang yang terjebak di lubang tambang dalam tanah masih nihil. Masalah utama adalah masuknya air sungai ke dalam jaringan lubang tambang.
JAMBI, KOMPAS - Hingga hari ketiga, pencarian tujuh korban longsor yang terjebak di dalam lubang tambang emas liar di Kabupaten Merangin, Jambi, belum membuahkan hasil. Tim pun makin kesulitan mengendalikan luapan air Sungai Merangin yang mengalir ke dalam jaringan lubang tambang itu.
Kepala Badan SAR Nasional Provinsi Jambi Al Hussain mengatakan, operasi pencarian korban telah dilakukan dengan berupaya mengosongkan lubang yang tertutup lumpur dan air. Namun, debit air yang masuk ke lubang tambang terus meningkat. Air bersumber dari Sungai Merangin yang mengalir di dekat lokasi.
”Debit air yang terus meningkat ini menyebabkan penyedotan jadi tidak efektif,” ujar Hussain, Selasa (4/9/2018). Upaya pencarian kemarin dihentikan sementara sekitar pukul 18.00.
Pihaknya akan mengadakan evaluasi pencarian korban pada Rabu ini. ”Dari hasil evaluasi, nantinya akan diputuskan apakah upaya pencarian kami lanjutkan atau hentikan,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, para pekerja tambang emas liar terjebak dalam timbunan longsor dan luapan air yang berasal dari Sungai Merangin pada Minggu. Air sungai diduga menembus jaringan lubang tambang di Desa Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarab(Kompas,3/9).
Lubang-lubang tambang bawah tanah itu disebut-sebut sebagai jaringan paling kompleks di wilayah itu. Ada banyak lorong bercabang yang dibangun petambang di bawah tanah hingga kedalaman sekitar 50 meter. Pembangunan lubang yang sangat sempit dan tanpa diperlengkapi pengamanan sangat membahayakan nyawa.
Kepala Kepolisian Resor Merangin Ajun Komisaris Besar I Kade Utama Wijaya mengatakan, longsor dan luapan air dari lubang tambang lama diperkirakan turut menghancurkan lubang baru. Itu sebabnya debit air terus naik. Upaya tim menyedot air menjadi tidak mudah.
Kucing-kucingan
Kade mengakui, aktivitas tambang liar masih terjadi di wilayahnya. Sebagian besar pelaku kucing-kucingan dengan aparat. Saat operasi penertiban tambang liar dilakukan, aktivitas tambang pun meredup beberapa waktu. Namun, satu atau dua bulan berikutnya, tambang liar kembali marak. ”Terakhir kali kami lakukan operasi sekitar Juni lalu, di seluruh lokasi tambang liar,” katanya.
Kade pun menyebut kendala lain menghentikan penambangan emas liar itu karena masyarakat lokal sudah ikut-ikutan menjadi petambang. Tiap kali aparat terjun ke lokasi, warga di sekitar lokasi menutup diri dan enggan memandu ke lokasi. Operasi pun menjadi sulit karena sebagian lokasi tambang berada jauh di pedalaman.
Menurut Kade, kalau memang serius, pemerintah harus turut membantu penanggulangan penambangan liar. Misalnya, dengan mendukung anggaran operasi di lapangan. Selain itu, menyediakan opsi sumber penghidupan bagi masyarakat. Bagaimana pun, kemerosotan ekonomi di pedesaan belakangan ini menjadi alasan para petambang tetap bertahan.
Warga setempat, Budi Efendi, mengatakan, masyarakat saat ini tidak punya banyak pilihan ekonomi. Bagi sebagian warga yang tak memiliki lahan garapan, tambang emas menjadi satu-satunya pilihan sumber pendapatan bagi keluarga.
Masyarakat menyadari bahwa bekerja dalam lubang tambang bawah tanah sama halnya mempertaruhkan nyawa. Ancaman kematian begitu besar, mulai dari kehabisan oksigen atau keracunan gas di dalam lubang hingga ancaman longsor dan banjir. Namun, aktivitas itu tetap berjalan. ”Warga memilih nekat karena tak punya pilihan atas sumber ekonomi lain,” ujarnya. (ITA)