KUPANG, KOMPAS Sebanyak 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur kekeringan akhir Agustus ini. Meski demikian, baru Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Rote Ndao yang melapor ke pemerintah pusat untuk mendapat bantuan, sedangkan kabupaten lain enggan melapor dan meminta bantuan karena bantuan sering terlambat dan sulit dipertanggungjawabkan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tini Tadeus di Kupang, Kamis (30/8/2018), mengatakan, tahun 2017, 16 kabupaten mengajukan laporan sekaligus proposal bantuan darurat kekeringan. Namun, saat itu hanya tiga kabupaten yang mendapat bantuan pada Oktober sehingga bisa dimanfaatkan mengatasi kekeringan hingga empat bulan ke depan. Adapun 13 kabupaten mendapat bantuan Desember 2017 sehingga tak berani merealisasikannya.
”Tahun ini, Kabupaten Sumba Timur mengajukan bantuan Rp 1,1 miliar, sedangkan Kabupaten Rote Ndao senilai Rp 700 juta. Proposal itu sudah kami teruskan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana,” kata Tadeus.
Beberapa bantuan kedaruratan itu, antara lain, suplai air, pengadaan tandon, dan sewa mobil tangki air. Bantuan diharapkan turun September. Jika bantuan diturunkan November-Desember, banyak daerah enggan mengambil (mencairkan bantuan) terkait masalah pertanggungjawaban.
Pengajuan permohonan bantuan tak begitu saja disetujui pusat. Tim khusus akan mengirim tim survei lapangan untuk memastikan besaran riil bantuan yang perlu disalurkan.
Selama ini, proposal bantuan yang diajukan Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar per kabupaten/kota, tetapi yang disetujui berkisar Rp 600 juta hingga Rp 700 juta per kabupaten/kota. Prioritas bantuan, yakni dropping air dengan mobil tangki dan pengadaan tandon air. Bantuan ini sifatnya darurat, tidak mengatasi masalah kekeringan di daerah itu secara berkelanjutan.
Adapun rata-rata nilai pengajuan proposal bantuan kekeringan dari 22 kabupaten/kota mencapai Rp 16 miliar. Yang disetujui Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar.
Wakil Bupati Sabu Raijua Niko Rihi Heke mengatakan, Sabu Raijua juga telah mengajukan laporan sekaligus proposal bantuan senilai Rp 700 juta, tetapi belum sampai ke Pemprov NTT. Hampir 63 desa/kelurahan yang tersebar di enam kecamatan di Sabu Raijua mengalami kekeringan.
Anggota DPRD Sikka, Faustinus Vasco, mengatakan, pemkab perlu memiliki kebijakan permanen mengatasi kekeringan secara berkelanjutan. Masyarakat harus diajari menjaga lingkungan, merawat sumber air, dan hemat air saat kemarau.
Di Bandar Lampung, Lampung, kekeringan di sejumlah sentra padi di Lampung Selatan dan Lampung Timur mulai berdampak bagi petani. Petani mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat sumur bor atau menyedot air sungai.
Menurut Iskandar, Ketua Gabungan Kelompok Tani Tuoh Pemuko Desa Negara Batin, Kecamatan Jabung, Lampung Timur, kekeringan sejak Juli itu meresahkan petani. ”Kami khawatir padi yang baru satu bulan mati karena hujan tidak kunjung turun. Akhirnya, ada sebagian petani yang memilih membuat sumur bor atau menyedot air dari sungai untuk mengairi sawah,” katanya.
Untuk mengairi sawah 0,25 hektar, setiap petani mengeluarkan biaya tambahan Rp 800.000 untuk sewa pompa dan beli solar. Saat panen, petani juga harus memberi satu karung gabah kering panen kepada pemilik mesin sebagai bayaran.
Demi menghemat biaya, mesin penyedot air dimodifikasi agar dapat mengganti bahan bakar solar dengan gas 3 kilogram. Dengan cara itu, petani bisa memangkas ongkos Rp 100.000 hingga Rp 150.000. (KOR/VIO)