MUARO JAMBI, KOMPAS - Tim gabungan arkeolog mendapati jaringan hidrologi kuno di kompleks percandian Muaro Jambi, Jambi. Temuan itu dipastikan sebagai jaringan tertua hidrologi di Nusantara yang dibangun sebagai bentuk adaptasi lokal akan kondisi alam.
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Retno Purwanti, mengatakan, hasil carbon dating atas bahan galian di sejumlah lokasi sekitar situs menunjukkan jaringan air telah dibangun pada abad III hingga IV. ”Itu berarti, pengetahuan tata air lokal sudah ada jauh sebelum dibangunnya Muaro Jambi sebagai pusat peribadatan dan pendidikan terbesar agama Buddha di Nusantara mulai abad VII hingga XIV,” ujar Retno di Muaro Jambi, Rabu (29/8/2018).
Kompleks-kompleks candi dikelilingi kanal dan parit yang terletak lebih tinggi dari permukaan Sungai Batanghari. Posisi kanal yang lebih tinggi dari sungai menyanggah asumsi terdahulu bahwa Sungai Batanghari merupakan sumber air bagi masyarakat di sekitar situs Muaro Jambi. Kenyataannya, sumber air setempat mengandalkan tadah hujan.
Retno menyimpulkan, masyarakat lokal pada masa lalu beradaptasi untuk mengatasi kesulitan air pada musim kemarau dan limpahan air pada musim hujan. Adaptasi itu dengan menampung air hujan dan menyimpannya dalam jaringan di kompleks itu. Setiap candi tersekat kanal untuk mencukupi kebutuhan air, mengatasi banjir, dan sarana transportasi.
Peneliti lainnya dari Heritage Indonesia, Hendra, menambahkan, masyarakat pada masa lalu telah memiliki manajemen air yang canggih dari sisi mikro maupun makro. Ia mendapati lubang-lubang air di sejumlah candi, antara lain di Candi Kembar Batu.
Pengelolaan saluran air di bagian utara dan selatan lebih berfungsi sebagai kanal kuras, yakni menyalurkan ke lubang-lubang penampungan air pada masing-masing lokasi candi. Sementara kanal di bagian timur dan barat berfungsi sebagai kendali banjir. Seluruh sumber air dalam kanal mengandalkan air hujan.
Penelitian kosmologis di Muaro Jambi dilakukan tim gabungan dari Balai Arkeologi Sumsel, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, Universitas Jambi, Universitas Gadjah Mada, dan warga lokal. Penelitian sejak awal Agustus lalu juga mendapati empat lanskap besar yang membentuk kehidupan setempat.
Selain lanskap hidrologi, ditemukan pula lanskap pertanian, lanskap percandian, dan lanskap kosmologi. Kelengkapan lanskap ini belum terungkap pada situs di daerah lain. ”Ini merupakan keunikan Muaro Jambi yang bisa diangkat agar mendunia,” kata Retno.
Percandian Muaro Jambi seluas 3.000 hektar ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional tahun 2013. Bahkan, diusulkan sebagai Warisan Budaya Dunia. (ITA)