JAKARTA, KOMPAS - Masalah yang menimpa Meiliana (44), warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang dipidana karena kasus penodaan agama terkait volume suara azan, jadi pelajaran publik. Warga negara perlu meningkatkan rasa saling menghormati, tak terkecuali umat Islam.
”Masjid itu juga harus menghormati orang di sekitar,” kata Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Perihal suara pelantang masjid, kata Kalla, sejak lama diperingatkan DMI. DMI menyerukan agar volume suara azan di masjid-masjid tak perlu terlalu keras. ”Berkali-kali Dewan Masjid juga meminta masjid-masjid membatasi waktu pengajian (tadarus). Jangan lebih dari lima menit dan azannya tiga menit. Cukup 8-10 menit karena jarak masjid berdekatan,” tuturnya.
Kalla pernah meminta masjid di dekat rumah tak terlalu keras dan terlalu lama memperdengarkan pengajian dan azan. Wajar, kata Kalla, ada keluhan serupa.
Menurut Wapres, sudah seharusnya pengelola masjid juga menghormati masyarakat sekitar. Masyarakat yang keberatan jangan digugat pidana.
Di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, terdakwa kasus penodaan agama, Meiliana, mantap mengajukan banding atas vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan selama 1,5 tahun. Ia terbukti melanggar Pasal 156A KUHP oleh Majelis Hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo. Meiliana ditahan di Rumah Tahanan Wanita Kelas IIA Medan di Tanjung Gusta.
”Kondisi fisik Meiliana sehat, tetapi secara psikis terganggu. Ia menangis dan terus menangis,” kata kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani, Kamis sore. Pihaknya menerima banyak dukungan publik atas kasus itu.
Kasus Meiliana berawal 29 Juli 2016 saat warga mengklarifikasi keluhannya soal pengeras suara di masjid yang tambah keras. Keluhan disampaikan Meiliana kepada tetangganya, 22 Juli 2016, atas pengeras suara masjid di Jalan Karya, Tanjung Balai Selatan. Tetangga itu menyampaikan keluhan Meiliana kepada takmir masjid.
Belakangan, informasi itu terdistorsi di media sosial sehingga menimbulkan kerusuhan. Tiga wihara, delapan kelenteng, dan dua kantor yayasan dirusak massa. Sepeda motor, mobil di jalan, dan rumah Meiliana dibakar.
Pertokoan tutup dan sekolah diliburkan. Polisi dan tentara berjaga-jaga di ruas-ruas jalan utama (Kompas, 31/7/2016). Belasan orang jadi tersangka. Perusak rumah ibadah divonis dua bulan penjara, penyebar kabar bohong diganjar kurungan dua bulan 18 hari (Kompas, 6/2/2017).
Pelajaran bertoleransi
Secara terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta setiap putusan pengadilan dihormati. Meski begitu, peristiwa di Tanjung Balai seharusnya tetap dijadikan pelajaran untuk meningkatkan toleransi. ”Hal penting, bagaimana seluruh warga bangsa yang beragama dan masyarakat terus saling memupuk toleransi. Kuncinya di situ,” ujarnya.
Muhammadiyah tetap memegang komitmen terus menjaga toleransi dan saling memahami. Pihak masjid juga diminta tahu cara menjaga warga beda agama. Masyarakat sebaiknya juga tak terlalu sensitif kegiatan masjid.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berharap delik penodaan agama tak dijadikan instrumen memberangus hak berpendapat. Penetapan vonis 18 bulan kepada Meiliana dinilai tidak tepat. Kritik lantaran suara azan yang terlalu keras bukan merupakan penistaan agama.
”Tanpa bermaksud menilai putusan pengadilan, saya tidak melihat ungkapan ’suara azan terlalu keras’ sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu,” kata Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas. Pendapat seperti itu, kata dia, sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. (NTA/REK/EDN/SAN/WSI)