RUTENG, KOMPAS Penataan kampung tradisional Waerebo di Kecamatan Satarmese Selatan, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menjadi kampung ekowisata tingkat dunia jangan mengabaikan tradisi berladang masyarakat. Waerebo menjadi bagian dari perhatian UNESCO karena keunikan lokal di tengah gempuran arus modernisasi. Keunikan lokal itu dipertahankan secara utuh.
Vinsensius Walet (35), pengunjung dari Ruteng, pekan lalu, mengatakan, selama dua hari satu malam berada di Kampung Adat Waerebo, dirinya tidak menemukan makanan khas di kampung itu. Sebagai kampung tradisional, makanan khas mestinya tetap ditampilkan kepada pengunjung.
”Selama empat kali makan di dalam rumah adat Waerebo bersama ratusan pengunjung pada Kamis dan Jumat (16-17/8/2018), kami tidak pernah disuguhi makanan tradisional seperti kebanyakan warga kampung lain di Flores. Menu makan pagi, siang, dan malam hanya nasi, ayam potong yang dibeli dari pasar Denge, dan mi rebus,” kata Walet.
Ia mengatakan, tamu yang datang dari luar ingin menyaksikan sesuatu yang unik di kampung adat, termasuk menu masakan. Misalnya, ubi, pisang, jagung, dan sayur-sayur lokal. Jenis makanan ini boleh direbus, digoreng, atau dimasak dengan cara lain, sesuai tradisi lokal.
Didiek Baskoro (27), pengunjung asal Bogor, juga sependapat. ”Dulu orang Waerebo makan dan minum pakai piring atau gelas jenis apa. Kalau dari anyaman lontar dan tempurung, ya, tetap pertahankan itu. Tamu-tamu pun merasa benar-benar unik jika menggunakan alat-alat itu untuk makan dan minum selama berada di rumah adat,” kata Baskoro.
Thomas Djarit (45), warga Waerebo, membenarkan, sebagian besar warga Waerebo lebih fokus menyambut kedatangan tamu dengan menyiapkan berbagai sarana, prasarana, dan akomodasi bagi para tamu. Sebelum Waerebo dikenal dunia luar, masyarakat sehari-hari fokus di ladang.
Sekarang petani setempat juga fokus pada perkebunan kopi karena mendapat perhatian khusus dari The Indonesia Ecotourism Network (Indocon) atau wisata ekologi. ”Dulu kopi dijual di pasar dengan harga Rp 5.000-Rp 10.000 per kg. Sekarang kopi dikelola sesuai permintaan pasar dunia, yakni kopi berkualitas dan dikemas secara khusus dengan dukungan Indocon. Harga kopi Rp 60.000-Rp 100.000 per kemasan 250 garam-300 gram. Kami senang dengan cara ini karena sangat membantu petani kopi di sini,” kata Djarit.
Direktur Eksekutif Indocon Ary S Suhandi mengatakan, tidak semua warga Waerebo terlibat pariwisata. Cukup banyak tamu mengunjungi Waerebo setiap hari. Itu butuh tenaga untuk melayani para tamu, terutama kebutuhan makan-minum dan lainnya. ”Namun, tidak semua terlibat melayani tamu. Mereka bekerja secara bergilir sehingga sebagian warga melayani tamu, tetapi juga sebagian warga tetap bekerja di kebun,” kata Suhandi. (KOR)