YOGYAKARTA, KOMPAS Hambatan perempuan untuk berpolitik praktis masih kuat. Akibatnya, keterwakilan perempuan rendah. Belum semua regulasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan berdampak signifikan.
Itu mengemuka dalam Bincang Harian Kompas bersama Yayasan Satunama bertema “Perempuan dalam Politik: Studi Komparatif Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018” di Kantor Perwakilan Kompas, Yogyakarta, Rabu (15/8/2018). Sebagai penanggap riset, Wakil Ketua DPRD DIY Rany Widayati dan Dewi Candraningrum (dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Riset dilakukan Kristina Virri dan tim Satunama mulai Mei hingga awal Agustus 2018. Dari 1.044 calon dalam Pilkada 2018, hanya ada 94 calon perempuan (9 persen). Itu meningkat dibanding Pilkada 2015 dan 2017, yaitu 7,3 persen.
"Dari temuan-temuan itu, perempuan sebenarnya menghadapi sistem politik patriarki. Temuan yang mendukung, perempuan yang maju sedikit dibanding laki-laki,” katanya. Padahal, terdapat sejumlah peraturan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik itu, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.
"Dalam peraturan itu, diharuskan ada keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dalam pendirian atau pengurusan partai politik di tingkat pusat. Selain itu, dalam pemilihan umum harus ada minimal satu orang perempuan dari tiga orang bakal calon yang diajukan partai politik.
Virri mengungkapkan, ada dua tantangan yang dihadapi perempuan saat memasuki ranah politik praktis. Pertama, perempuan masih belum diprioritaskan dalam kandidasi politik. Kedua, adanya elitisme politik yang membuat perempuan harus berkompetisi dengan modal finansial, politik, dan sosial yang kuat.
“Persentase perempuan yang terpilih masih sangat kecil. Dari 94 kandidat, hanya 29 yang terpilih. Itu artinya hanya 2,7 persen dari keseluruhan kandidat yang berkontestasi,” kata Virri. Kemudian, tambah dia, ada 42 persen calon yang dijadikan kandidat karena dekat dengan lingkar kekuasaan. Berarti yang punya modal (politik) kuat yang dipilih oleh partai.
Lingkar kekuasaan yang dimaksud adalah seorang calon sebenarnya memiliki pertalian dengan elit politik yang memimpin sebelumnya. Bisa pertalian dari ikatan perkawinan maupun ikatan darah. Hal ini mengakibatkan, calon perempuan sekadar dimanfaatkan sebagai pendulang suara bagi partai politik.
Wakil Ketua DPRD DIY Rany Widayati menyatakan, perjuangan perempuan sebagai kader partai dalam kontestasi politik itu memang berat. Ia membenarkan, belum semua partai memprioritaskan kader perempuannya.
“Belum semua partai bisa menerima perempuan secara utuh. Keterwakilan 30 persen perempuan masih jadi syarat administratif. Yang berpartisipasi (politik) itu sangat banyak, tetapi kalau sudah dikerucutkan menjadi calon legislatif mulai tergeser. Parpol kerap memandang perempuan sebelah mata,” kata Rany.
Rany menambahkan, keluarga terkadang juga menjadi penghambat bagi kader perempuan untuk melanjutkan karir politiknya. Baik itu orangtua maupun suami kader perempuan mengharapkan mereka bekerja di sektor domestik saja. Padahal, sebenarnya yang harus didorong adalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di rumah tangga.
“Awalnya, untuk terjun ke politik, tidak mudah meyakinkan keluarga. Perempuan harus bisa membuktikan bahwa keduanya (rumah tangga dan berpolitik) bisa dilakukan dengan baik. Namun, seharusnya yang dilakukan adalah pembagian peran dalam rumah tangga,” kata Rany.
Secara khusus, Dewi Candraningrum justru mendorong para perempuan terjun dalam politik praktis. Dengan demikian, terlibat membuat regulasi yang mendorong kesetaraan jender secara nyata.
“Dengan terjun dalam politik praktis bisa mendorong ruang publik agar berpihak kepada perempuan. Caranya, lewat pembuatan regulasi itu,” kata Dewi.