Asmat dan Tradisi Peramu
Hamparan hutan lebat di bawah jendela pesawat perintis seketika memanjakan mata saat pesawat memasuki wilayah Kabupaten Asmat, Papua, Selasa 24 juli 2018. Sungai meliuk-liuk bagaikan ular menari diantara hutan-hutan yang masih terjaga.
Masyarakat Asmat dimanjakan oleh alam yang sangat kaya. Tak pernah terdengar kisah kekurangan makanan dari nenek moyang mereka hingga peristiwa kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan campak terjadi Januari lalu.
Hutan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Asmat. Pohon-pohon sagu sebagai sumber karbohidrat begitu mudah ditemui di tengah hutan. Pun tak kurang hewan yang hidup di dalamnya menjadi sumber protein bagi masyarakat.
Sebagian besar masyarakat Asmat hidup secara semi-nomad, selain membangun rumah di perkampungan, mereka juga mendirikan rumah bivak atau tempat tinggal sementara di tengah hutan. Biasanya kaum laki-laki akan pergi ke hutan tiga hari hingga satu pekan lamanya untuk mencari sagu atau berburu binatang. Mereka kembali ke kampung untuk menikmati hasilnya. Makanan yang diperoleh dari hutan cukup untuk dimakan seluruh anggota keluarga, serta disimpan untuk stok makanan selama seminggu. Bahkan jika ada tetangga yang sedang kekurangan stok makanan, mereka turut menikmatinya secara cuma-cuma.
Di sepanjang tepi sungai yang membelah hutan-hutan lebat, rumah-rumah bivak berdiri. Selain mencari makanan di hutan, masyarakat Asmat juga menangkap ikan di sungai. Terkadang mereka mendapat bonus ketika ada buaya yang tersangkut di jaring ikan yang mereka pasang di sungai. “Minggu kemarin kami dapat buaya yang panjangnya kira-kira delapan meter” kata Patrisius Sakamon, warga Kampung Yaosakor, Distrik Jetsy, berkisah.
Kabupaten Asmat diapit Kabupaten Mappi, Mimika, Yahukimo dan Nduga. Secara demografi masyarakat Asmat terbagi dua, warga yang tinggal di pesisir dan di pedalaman. Mobilitas mereka sebagian besar mengandalkan transportasi sungai sebagai akses utama. Tak heran jika perahu kayu memiliki peran penting bagi masyarakat Asmat.
Belakangan kian sedikit warga Asmat yang membuat perahu. Menurut Patrisius, dulu setiap keluarga bias memiliki dua hingga perahu kayu. Perahu bisa digunakan untuk mencari ikan di sungai atau pun untuk pergi menyeberang ke hutan. “Sekarang mereka yang tidak punya perahu, terpaksa meminjam, nanti pulangnya bayar pakai ikan atau apa saja yang didapat,” ujarnya.
Proses pembuatan perahu kayu bisa dikerjakan dalam satu minggu saja, jika pengrajin tidak terganggu oleh kegiatan lainnya. Namun jika dalam pengerjaannya, pengrajin perahu sambil melakukan kegiatan lainnya seperti mengikuti kegiatan acara-acara adat atau pun kegiatan pergi ke hutan, maka proses pembuatan perahu bisa memakan waktu hingga dua bulan lamanya.
Patrisius yang saat ini berusia sekitar 60 tahun, belajar membuat perahu dari orang tuanya dengan melihat dan diajari langsung. Proses pembuatan perahu dimulai dengan mencari pohon “ti” atau “ci” di hutan. Setelah ia mendapatkan pohon yang cocok, ia bersama-sama warga lainnya mengadakan suatu upacara adat yang tujuannya meminta izin kepada leluhur untuk menebang pohon.
Batang pohon yang sudah ditebang lantas dipotong-potong sesuai dengan ukuran perahu, sebelum ditarik oleh sekitar 10 sampai 20 orang keluar dari hutan, untuk dibawa ke kampung mereka. Batang pohon yang berukuran besar, dengan diameter lebih dari 1 meter dapat digunakan untuk membuat dua perahu. “Pohon yang berukuran pelukan dua orang dewasa, bisa dibelah jadi dua” tegas Patrisius. Tiba di kampung, batang kayu mulai diolah menjadi perahu secara bergotong royong, menggunakan peralatan-peralatan sederhana, antara lain kikir dan batu sebagai palu.
Namun semenjak ada perahu motor, warga Asmat perlahan-lahan mulai meninggalkan perahu kayu. Dengan perahu motor mereka tidak perlu capek-capek mendayung, dalam waktu yang relatif lebih singkat perahu motor bisa mengantarkan dengan cepat ke tujuan. Perahu motor membutuhkan bahan bakar, ketika pasokan bahan bakar tidak tersedia, perahu tentu tidak bisa dijalankan.
Selain itu, manuver perahu motor lebih terbatas karena bentuknya yang lebar. Perahu motor tidak bisa melewati jalur-jalur sungai yang kecil. Berbeda dengan perahu kayu yang berbentuk ramping, lebih mudah digunkana untuk melewati jalur-jalur sempit. Belum lagi ketika terjadi pasang surut, perahu motor akan kandas di perairan dangkal, sedangkan perahu kayu cukup didorong saja untuk melewati perairan dangkal.
Menurut Patrisius, warga di kampungnya yang memiliki perahu kayu, jumlahnya semakin sedikit. Apalagi sekarang anak-anak muda kurang tertarik belajar membuat perahu. Mereka lebih memilih membeli makanan di warung-warung makan ketimbang mencari makanan di hutan.
Sampah bungkusan-bungkusan plastik makanan instan bertebaran di bawah panggung-panggung rumah warga. Pemandangan seorang ibu yang memberikan biskuit instan kepada bayinya menjadi hal mudah dijumpai. “Sekarang ini hampir di setiap kampung, pasti ada satu warung atau kios kecil-kecilan,” kata Pastur Yanuarius Bria, yang sudah 2 tahun melayani warga kampung Yaosakor, Distrik Siret.
Warung atau kios ini umumnya dimiliki oleh para pendatang yang berprofesi sebagai guru atau petugas kesehatan. Keberadaan warung di satu sisi memberikan kemudahan bagi warga untuk memperoleh makanan-makanan ringan maupun kebutuhan sembako. Namun di sisi lain memberikan dampak, masyarakat sering kali lebih memilih mengkonsumsi makanan instan daripada mencari sagu di hutan.
Masyarakat Asmat juga mulai terbiasa dengan beras sebagai bahan makanan pokok alternatif. “Tentu saja tidak dimasukkan oleh pemerintah untuk melemahkan semangat mendapatkan sagu, tetapi begitulah keadaannya. Beras itu juga kualitasnya barangkali rendah,” ungkap Aloysius Murwito, Uskup Agats saat ditemui tim Kompas, Rabu (25/7) di Keuskupan Agats. Ketika pasokan beras terhambat, warga terlanjur tidak menyimpan stok sagu. Pasokan bahan makanan terkadang terlambat datang hingga dua minggu lamanya karena sulitnya transportasi.
Menurut Uskup Aloysius munculnya kasus campak dan gizi buruk awal tahun ini, baru terjadi kali ini di Asmat. Selama 16 tahun ia tinggal di Asmat, ia tak pernah mengalami peristiwa serupa.
KLB tahun ini merupakan akumulasi dari beberapa faktor masalah hingga menjadi sebuah persoalan kompleks, mulai dari soal minimnya fasilitas kesehatan, komunikasi, transportasi, pendidikan, juga terkait perubahan pola makan dengan kehadiran makanan-makanan instan.
Pasca KLB gizi buruk dan campak, Keuskupan Agats membuat program-program prioritas untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Asmat. Bantuan yang mengalir dari berbagai pihak, termasuk dari pembaca Kompas digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas umum seperti lapangan bermain anak dan pembuatan instalasi saluran air bersih.
Saat ini sudah ada 4 lapangan bermain yang hampir selesai dibangun yang berada di kampung Warse, Birak dan Akamar di Distrik Jesty dan kampung Damen, di Distrik Siret. Keempat kampung ini termasuk wilayah yang terdampak saat KLB lalu, sehingga menjadi prioritas penyaluran bantuan.
Pembangunan lapangan ini merupakan hasil kerjasama Keuskupan Agats dengan Dana Kemanusiaan Kompas. Lapangan masing-masing seluas 25 meter persegi dibangun dengan menggunakan papan-papan kayu membentuk panggung terbuka.
Lapangan bermain selain dapat digunakan oleh anak-anak, juga dapat digunakan seluruh warga untuk bermacam-macam aktfitas, seperti kegiatan olahraga maupun pertemuan adat. “Selama ini anak-anak bermain bola di atas lumpur karena wilayah asmat ini kan umumnya daerah rawa,” jelas Uskup Aloysius.
Ketahanan tubuh perlu menjadi prioritas ketika fasilitas kesehatan masih sangat minim. Masyarakat membutuhkan lingkungan yang lebih sehat untuk menjaga ketahanan tubuh dari ancaman berbagai penyakit.