TENGGARONG, KOMPAS — Persoalan yang membelit kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto di Kalimantan Timur amat rumit dan kompleks. Separuh lebih dari luas tahura ini sudah beralih menjadi permukiman, kebun masyarakat, jalan, bermacam bangunan, dan tambang batubara.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura Bukit Soeharto Rusmadi, Selasa (31/7/2018), menyebut, dari luas tahura sekitar 64.000 hektar, separuhnya sudah beralih fungsi. ”Yang belum (beralih fungsi), hanya 30.000-an hektar. Memang ini ironis,” keluhnya.
Semuanya, menurut Rusmadi yang baru menjabat dua bulan ini, serba telanjur. Opsi yang ada hanya melihat ke depan dan memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki. ”Seperti benang ruwet. Tetapi, kalau saya melihat ke belakang, masalah tetap tidak selesai,” katanya.
Dia hanya berharap semua pihak yang mengkritik juga memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan ikut memberikan solusi. Keterbatasan anggaran dan jumlah personel disebutnya. Hanya ada 20-an polisi hutan, dan anggaran Rp 300 miliar per tahun dikucurkan APBD Kaltim. UPTD Tahura Bukit Soeharto ini pun baru dibentuk tahun 2016 lalu.
”Kami berurusan dengan banyak orang nekat, banyak kepentingan, dan sebagian warga yang belum paham bahwa tahura mesti bebas dari perambahan. Berapa kali anggota kami dapat ancaman, siapa yang peduli? Tidak bisa hanya kami yang bergerak,” ujar Rusmadi.
Pemerhati lingkungan, yang juga Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang, mengestimasi 40-50 persen dari luas tahura sudah beralih fungsi. Masalah bermula dari dibolehkannya tahura untuk rumah terutama sejak 20-an tahun terakhir.
”Orang-orang yang tinggal di tahura bisa mendapat kartu tanda penduduk (KTP), dan rumahnya dialiri listrik. Ada juga kantor pemerintah, SPBU, warung, toko, kantor polisi, dan rest area. Ditambah pula tambang batubara. Tahura sudah salah kelola sejak awal,” kata Rupang.
Dengan kata lain, Tahura Bukit Soeharto sudah tidak bisa disebut ”hutan”. Data Jatam menunjukkan, terdapat 22 perusahaan tambang batubara yang area konsesinya ”melebar” hingga masuk ke tahura. Izin usaha pertambangan (IUP) beberapa perusahaan masih belum berakhir.
Tak hanya itu, karena bekas lokasi tambang perusahaan, kini juga ditambang masyarakat. Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menemukan beberapa lokasi penambangan tersebut. Senin (30/7/2018), satu lokasi seluas 15 hektar didatangi.
Namun, di lokasi yang berjarak tidak lebih 1,5 km dari poros Balikpapan-Handil di Samboja, Kutai Kartanegara, itu tak dijumpai orang. Hanya terlihat ratusan karung tertata rapi berisi batubara siap angkut. Juga tampak beberapa gundukan bongkahan batubara.
Kepala Balai Gakkum Kalimantan KLHK Subhan menyebut, sebelumnya, lokasi pertambangan ilegal lainnya di tahura sudah dideteksi, awal Juli lalu. Tiga orang ditangkap, dengan barang bukti satu alat berat (ekskavator) dan satu truk yang bermuatan batubara.
Rusmadi mengingatkan bukan hanya UPTD Tahura Bukit Soeharto yang bertanggung jawab menjaga kawasan. Ada dua pihak lain, yakni Universitas Mulawarman dan Badan Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (Balitek KSDA), yang juga ”memiliki” tahura itu.
”Surat keputusan (SK) pengelolaan Tahura Bukit Soeharto dipegang tiga pihak. Kami hanya salah satunya pemegang SK, yang menangani dua pertiga luas tahura. Sepertiga luas tahura adalah ranah Unmul dan Balitek. Namun, kami yang selalu dituding,” kata Rusmadi.