SURABAYA, KOMPAS — Narapidana narkotika masih mampu mengendalikan, bahkan mengembangkan, bisnis ilegal dari dalam penjara. Praktik itu terbongkar saat diumumkan Badan Narkotika Nasional, Selasa (31/7/2018) di Surabaya.
Jumpa pers ungkap kasus berlangsung di rumah mewah Nomor 45 Jalan Mulyosari Utara, Surabaya. Kediaman itu dalam status disita BNN sebagai barang bukti. Bangunan megah itu milik Adiwijaya, bos CV Dana Makmur Saudara, yang menjalankan usaha penukaran uang hingga ke Taiwan. Selain rumah, BNN juga menyita mobil mewah dan uang tunai dengan total nilai barang bukti Rp 24 miliar.
Adiwijaya alias Kwang adalah satu dari lima orang yang dituduh terlibat dalam bisnis ilegal bersumber dana dari hasil peredaran narkotika. Keempat lainnya adalah Ali Akbar Sarlak, warga Iran yang menjadi narapidana narkotika di LP Tangerang; Army Roza alias Bobi; Tamia Tirta Anastasya alias Sunny Edward (kekasih Ali Akbar); dan Lisan Bahar (Direktur Utama PT Global Surya Aliences). Kasus ini terungkap berkat kerja sama BNN serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko mengungkapkan, kasus terbongkar dimulai dari penangkapan pengedar sabu bernama Juvictor Indraguna alias Viktor pada 4 Maret 2017. Saat itu, petugas menyita barang bukti 3,8 kilogram sabu. Setelah diselidiki, sabu yang diedarkan Viktor itu ”disediakan” Ali Akbar dan Army Roza yang mendekam di LP Tangerang.
”Terpidana tetap menjalankan bisnis narkotika dari dalam penjara dengan merekrut orang Indonesia untuk mengelola atau cuci uang hasil transaksi sabu,” ujar Heru. Tamia membuka rekening dengan nama palsu Sunny Edward untuk menampung dan mengalirkan uang hasil transaksi sabu. Bersama dengan Adiwijaya dan Lisan, Tamia mengelola dan mengembangkan bisnis penukaran uang sampai pertambangan emas.
Direktur Analisis Transaksi PPATK Aris Priyatno mengatakan, perusahaan yang didirikan sindikat itu ternyata fiktif dan hanya bertujuan untuk melancarkan aliran uang. Namun, penyidik tidak kesulitan melacak peredaran uang hasil penjualan narkotika karena terjadi dalam sistem perbankan. ”Secara sederhana, mereka berusaha menyamarkan transaksi ilegal seolah-olah legal melalui jasa penukaran uang, tetapi dapat kami bongkar,” katanya.
Terbongkarnya sindikat itu jelas mencoreng kembali nama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bertanggung jawab mengelola jaringan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Beroperasinya bisnis Ali Akbar dari LP Tangerang mengindikasikan ada keterlibatan oknum kementerian yang diduga memberikan fasilitas kepada terpidana, misalnya telepon seluler, sehingga bisa memantau dan mengendalikan bisnis meski dipenjara.
Kemenkumham seharusnya merasa tertampar sebab beberapa hari lalu sudah tercoreng akibat keterlibatan Kepala LP Sukamiskin dalam kasus korupsi suap penyediaan fasilitas mewah bagi terpidana kasus rasuah tersebut. Di sisi lain, peredaran narkotika yang dijalankan terpidana bukan barang baru. Bisnis narkotika berkelindan dengan kejahatan luar biasa lainnya, terutama korupsi dalam hal penyuapan kepada aparat dan pencucian uang.
Terkait dengan hal itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami berjanji membuka pintu seluas-luasnya bagi BNN untuk menyelidiki keterlibatan petugas LP Tangerang dalam sindikat Ali Akbar. Ia mengklaim, pengawasan terhadap petugas LP dan rutan telah diusahakan semaksimal mungkin.
Sejumlah LP dan rutan telah dilengkapi dengan mesin pemindai sehingga akan kelihatan barang-barang apa saja yang hendak diselundupkan, termasuk telepon seluler. ”Kami berjanji mendalami dan akan terbuka dengan penyelidikan,” katanya.