Anak Berkebutuhan Khusus Belum Dapat Perhatian Serius di NTT
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Anak berkebutuhan khusus di Nusa Tenggara Timur belum mendapatkan perhatian serius dari pemangku kepentingan di provinsi ini. Jumlah anak berkebutuhan khusus di NTT yang terdata sekitar 15.000 orang. Mereka hanya dilayani dua guru lulusan jurusan pendidikan berkebutuhan khusus, bahkan dua kabupaten tidak memiliki sekolah berkebutuhan khusus sama sekali.
Lembaga pendidikan, seperti sekolah luar biasa (SLB), hanya hadir untuk memenuhi peraturan pendidikan, tetapi tidak banyak mengubah nasib anak-anak tersebut. Masih banyak pandangan bahwa anak berkebutuhan khusus sulit diarahkan.
”Mereka adalah manusia normal seperti kita. Marilah ubah cara pandang kita terhadap ABK. ABK sebenarnya tidak relevan lagi dikenakan kepada anak-anak secara ragawi berbeda. Karena pada dasarya semua orang memiliki kebutuhan khusus,” kata Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Robert Simbolon pada kegiatan Festival dan Lomba Seni Siswa, Olimpiade Olahraga, Lomba Keterampilan, Gebyar Seni (Fiksi) dan Pendidikan Khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Kupang, Rabu (25/7/2018).
Ia mengatakan, pada dasarnya, semua orang lahir sama di hadapan Tuhan, hanya mungkin berbeda secara fisik sehingga dikategorikan sebagai ABK.
Meski disebut berkebutuhan khusus, anak-anak ini mampu menghasilkan karya seni dan keterampilan gemilang. Karya mereka bervariasi dalam pameran ini. Apa yang diperlihatkan sangat menakjubkan dan mengindikasikan bahwa mereka tidak kalah bersaing dengan kebanyakan anak lain.
Namun, sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas di NTT. Jumlah siswa, sesuai data tahun 2015, sebanyak 15.000 orang, tetapi hanya dilayani dua guru lulusan sekolah berkebutuhan khusus. Sebagian besar guru lulusan dari FKIP dan PGSD umum yang kemudian mendapatkan kursus singkat untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus
Selain itu, di NTT hanya tersedia 33 SLB. Itu berarti masih banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak tertampung di sekolah. Mereka ada di rumah-rumah dengan berbagai alasan, terutama orangtua merasa malu menampilkan anak itu kepada publik.
Pemerhati masalah anak berkebutuhan khusus di NTT, Isidorus Lilidjawa, mengatakan, Pemprov NTT pada 6 Juni 2017 telah mendeklarasikan NTT sebagai provinsi pendidikan inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, perlakuan guru dan lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemda terhadap ABK masih jauh dari harapan.
”Lembaga pendidikan SLB hanya sebagai tempat titipan ABK. Mereka dibiarkan berkeliaran di halaman sekolah, di kelas, di pendopo sekolah, kemudian dijemput orangtua pada akhir jam pelajaran. Selama mengikuti pendidikan SLB tiga tahun di sekolah itu, mereka tidak dapat apa-apa, tidak berubah sama sekali,” kata Lilidjawa.
Ketika orangtua menyampaikan hal ini kepada pengelola SLB, pihak sekolah malah beralasan, SLB bukan tempat terapi perilaku anak, atau menciptakan keterampilan anak. SLB itu tempat belajar mengajar.
Pengelola SLB pun menempatkan sekolah itu layaknya sekolah normal dari keluarga tidak mampu. Proses belajar mengajar berlangsung seperti biasa. Guru memberi pelajaran kepada siswa secara keseluruhan, tanpa membedakan anak normal, anak autis, anak cacat fisik, dan down syndrom. Sekolah ingin mengejar nilai UN/UNBK. Mereka mau tampil sebagai SLB dengan lulusan terbaik.
Anak berkebutuhan khusus dibiarkan telantar (berkeliaran) di halaman sekolah, di pendopo sekolah, dan di ruang kelas, bahkan ada siswa berkeliaran di jalan umum.
Ketua Panitia Kegiatan Pius Rasi mengatakan, kegiatan itu diikuti SLB tingkat SD hingga SMALB, dengan jumlah siswa 254 orang. Mereka terdiri dari guru pendamping dan siswa yang berasal dari 20 kabupaten/kota di NTT.
Beberapa jenis lomba yang diperebutkan dalam acara ini adalah bulu tangkis, atletik, merangkai anggrek, tata boga dan tata busana, membatik, karya kayu, serta festival seni budaya. Sasaran kegiatan adalah meningkatkan potensi dan kompetensi siswa SLB melalui berbagai keterampilan, seperti karya seni, olahraga, dan keterampilan dari siswa berkebutuhan khusus.