Para penari menampilkan sendratari berjudul ”Bandar dan Sumbu Kurung” di pelataran Museum Balanga, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (25/7/2015). Sendratari ini adalah cerita rakyat suku Dayak Ngaju mengenai teladan cinta seorang anak kepada orangtua dan sesama. Sendratari ini dimeriahkan oleh 90 penari, pemusik, dan tim produksi dari sanggar-sanggar di Palangkaraya.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Penggunaan bahasa Dayak dalam kehidupan sehari-hari mulai berkurang. Beberapa bahasa subsuku Dayak pun masuk ancaman kepunahan.
Penggagas Komunitas I Love Kutak Itah, Abbey Pantar, mengungkapkan, banyak anak muda tidak lagi memahami bahasa Dayak, khususnya Dayak Ngaju. Hal itu melandasi dirinya membentuk komunitas bahasa Dayak untuk mendorong penggunaan bahasa lokal.
”Ini bentuk sosialisasi agar anak muda Dayak bangga memakai bahasa Dayak, khususnya Ngaju,” kata Abbey di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (22/7/2018).
Sabtu lalu, Abbey dan komunitasnya membuat acara bincang-bincang bertema ”Mahaga Basa Dayak” yang berarti ’Menjaga Bahasa Dayak’. Hadir pula budayawan sekaligus sastrawan asal Kalteng, Jean Jaques Kusni; peneliti Balai Bahasa Kalteng, Anthony Suryanyahu; dan akademisi Paulus Dhanarto.
Menurut Anthony, di Kalteng lebih kurang ada 400 bahasa Dayak beserta sub-sukunya. Total penuturnya 1,4 juta orang.
Dayak Ngaju sebagai salah satu suku besar di Kalteng hanya memiliki 850.000 penutur. Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa Paku di daerah Barito Timur, tepatnya di daerah Paku dan Dusun Tengah. Bahasa ini hanya memiliki 150 penutur yang semuanya orang tua.
Bikin status di media sosial, ngobrol di jalan, dan situasi informal lainnya harusnya bisa pakai bahasa daerah.
”Anak muda di kampung banyak yang sekolah dan banyak faktor lain memengaruhi ancaman bahasa ini,” lanjutnya.
Jumlah 1,4 juta penutur merupakan jumlah yang relatif sedikit untuk 400 bahasa. Dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya sebagaimana dikutip dari ”Ethnologue: Language of The World” (2005), bahasa Musi di Sumatera Selatan memiliki 3,9 juta penutur, lalu bahasa Aceh dan bahasa Banjar dari Kalimantan Selatan memiliki jumlah penutur masing-masing sekitar 3,5 juta orang.
Anthony menyebutkan, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya untuk menjaga bahasa Dayak, antara lain memasukkan kata dalam bahasa Dayak Ngaju ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan menggagas pembuatan aplikasi Kamus Bahasa Dayak Ngaju.
”Butuh kebijakan lebih untuk bisa terus mendorong gerakan seperti ini, misalnya masuk ke muatan lokal,” kata Anthony.
Menentukan identitas
Menurut JJ Kusni, bahasa menentukan identitas dan jati diri seseorang. Bahasa juga menjadi pintu masuk kebudayaan di suatu wilayah.
”Butuh kesadaran dalam diri masing-masing untuk menguasai dan memahami bahasa, dimulai dari membaca dan memahami sejarah Dayak. Banyak anak muda, bahkan orang tua, tak lagi paham sejarah,” ucapnya.
Saat ini, ia membuat sekolah budaya di desa-desa untuk melestarikan budaya, termasuk bahasa. Di desa-desa pun masih ditemukan yang salah memahami budaya dan bahasanya.
”Ini adalah bentuk atau cara pembangunan yang dimulai dari bawah. Pemerintah kadang tidak dengar, jadi ditunjukkan saja caranya. Perlu didorong terus,” kata Kusni.
Abbey menambahkan, salah satu kegiatan komunitas bahasa Dayak adalah mendorong bahasa daerah digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun teknologi modern dan faktor lain memengaruhi, penggunaan bahasa Dayak perlu dilakukan setiap hari.
”Bikin status di media sosial, ngobrol di jalan, dan situasi informal lainnya harusnya bisa pakai bahasa daerah,” ujar Abbey.