PONTIANAK, KOMPAS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Pontianak, Kalimantan Barat, menyita 142 jenis obat tradisional ilegal. Obat tradisional itu mengandung bahan kimia obat serta tidak memiliki izin edar.
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Pontianak Susan Gracia Arpan, dalam jumpa pers, Senin (9/7/2018) di Pontianak, mengatakan, penindakan berawal dari penelusuran BBPOM dan pemangku kebijakan terkait serta laporan masyarakat. Pada Rabu (4/7) BBPOM menindak distributor obat tradisional di Pontianak berinisial YRH.
”Kami menyita 142 jenis obat tradisional berjumlah 31.080 kemasan yang mengandung bahan kimia obat dan tidak memiliki izin edar dari gudang distributor obat tradisional di dua lokasi Kota Pontianak. Kami juga menyita kendaraan operasional,” ujarnya.
Peredaran obat tradisional ilegal dan mengandung bahan kimia obat merugikan kesehatan masyarakat apabila dikonsumsi karena tidak dijamin dari sisi keamanan dan mutu produk. Sesuai ketentuan, obat tradisional dilarang mengandung bahan kimia obat.
”Berbagai obat tradisional itu mengandung delapan jenis kimia obat, antara lain parasetamol, sibutramin, dan hidroklorida. Jika dikonsumsi terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh, terutama hati dan ginjal, serta wajah akan membengkak,” ujar Susan.
YRH ditetapkan sebagai tersangka. BBPOM mendalami kasus tersebut, termasuk dari mana pasokan obat tradisional dan bahan obat kimia didapatkan. Selain itu, didalami ke wilayah mana saja obat tradisional itu dipasarkan.
Susan mengimbau masyarakat untuk menjadi konsumen yang cerdas sehingga tidak mengonsumsi obat tradisional tanpa izin edar dan mengandung bahan kimia obat. Hal itu bisa merugikan kesehatan. Karena itu dianjurkan untuk cek kemasan, label, izin edar, dan tanggal kedaluwarsa sebelum membeli produk.
Apabila menemukan hal-hal mencurigakan atau mempunyai informasi yang ingin disampaikan kepada BBPOM, masyarakat dapat segera menghubungi unit layanan pengaduan konsumen BBPOM Pontianak. Laporan dari masyarakat akan ditindaklanjuti BBPOM, demikian Susan.
Kepala Seksi Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalbar Komisaris Karmel Efendi Tambunan mengatakan, tersangka YRH dikenai Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ancaman hukuman adalah penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.(ESA)