1.000 Anak Unjuk Kebolehan di Festival Tari Remo dan Yosakoi
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, kembali mengadakan Festival Tari Remo dan Yosakoi, Minggu (8/7/2018), di Taman Surya, kompleks Balai Kota Surabaya. Sekitar 1.000 anak unjuk kebolehan menampilkan pertunjukan tari Remo yang berasal dari Jawa Timur dan tari Yosakoi dari Kochi, Jepang, tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan, ada lebih dari 1.000 anak dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama yang menjadi peserta festival tersebut. Mereka terbagi dalam 53 kelompok tari Remo dan 38 kelompok tari Yosakoi.
Peserta yang ikut tidak hanya berasal dari Surabaya, tetapi juga daerah lain, di antaranya Malang, Sidoarjo, dan Mojokerto. ”Ada peningkatan jumlah peserta tari Remo dari 46 kelompok menjadi 53 kelompok,” katanya.
Tari Remo adalah salah satu tarian yang berasal dari Jawa Timur. Tarian yang menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran dalam medan laga ini biasa ditampilkan untuk penyambutan tamu agung. Satu kelompok terdiri dari sekitar 10 orang dengan kostum penari mengenakan lonceng di pergelangan kaki.
Sementara tari Yosakoi berasal dari Kochi, Jepang. Tarian yang lahir setelah Perang Dunia Kedua pada 1945 ini ditampilkan untuk mengatasi resesi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk Kochi. Adapun yang menjadi khas dari tarian yang dilakukan secara massal ini adalah para penari membawa naruko, alat musik dari kayu, di kedua tangan.
Antiek menuturkan, Festival Tari Remo dan Yosakoi merupakan bagian dari kerja sama kota kembar (sister city) antara Surabaya dan Kochi. Tahun ini, hubungan kerja sama antarkedua kota itu sudah berusia 21 tahun. Selain di bidang kebudayaan, kerja sama keduanya juga meliputi kerja sama pendidikan, perdagangan, dan pariwisata.
Di bidang kebudayaan, kerja sama kedua kota itu salah satunya dengan melatih tari kepada warganya. Bahkan, sejak 2003, tari Yosakoi sudah mulai rutin diperkenalkan dan dipentaskan oleh anak-anak sekolah. ”Penari Yosakoi di festival ini berasal dari anak-anak sekolah di Surabaya, bukan dari Jepang,” ujarnya.
Sementara untuk melestarikan tari Remo, Pemerintah Kota Surabaya menyediakan jasa pelatih tari Remo untuk sanggar-sanggar di tiap kecamatan. Tarian ini juga menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler siswa SD dan SMP di Surabaya. ”Regenerasi penari Remo harus terus dilakukan sejak anak berusia dini agar kesenian asli Jawa Timur ini tidak punah,” ujar Antiek.
Pembina Sanggar Rukun Mulyo, Heni Sri Wahyuni (45), mengatakan, minat anak-anak Surabaya untuk mempelajari tari Remo amat tinggi. Di sanggar yang berada di Simomulyo, Kecamatan Suko Manunggal, Surabaya, itu ada sekitar 100 peserta dari usia 4 tahun hingga 15 tahun. Mereka berlatih tari dua kali dalam seminggu.
”Sanggar kami menampilkan enam kelompok. Satu kelompok di antaranya terdiri dari anak-anak TK berusia empat tahun,” ujarnya.
Menurut dia, festival semacam ini perlu rutin diadakan. Selain bisa meningkatkan minat anak-anak untuk mempelajari budaya, penampilan anak-anak di panggung juga bisa melatih keberanian untuk tampil di depan banyak orang.
”Berlatih tari Remo harus dari keinginan anak-anak sendiri dan didukung orangtua. Jangan malah yang berkeinginan adalah orangtua lalu memaksa anaknya untuk ikut. Mereka tidak akan maksimal saat berlatih,” kata Heni.