Rumah Adat Koke Bale, Pusat Hidup Suku Lamaholot
Koke Bale biasanya dibangun persis di tengah desa. Bangunan berbentuk panggung itu dilengkapi dengan berbagai peninggalan leluhur.
Dua pohon beringin berusia ratusan tahun berdiri tegak mengapit sebuah rumah tradisional berbentuk panggung. Akar-akar beringin itu bergelantungan, menyentuh sebagian bangunan gubuk. Itulah yang disebut Koke Bale atau pusat hidup warisan leluhur (Kewokot) masyarakat Desa Ile Padung. Koke Bale sebagai tempat tinggal para leluhur menyatukan semua perbedaan di kalangan suku Lamaholot.
Desa Ile Padung, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur, salah satu dari 438 desa yang tersebar di 40 kecamatan di Flotim, Lembata, dan Alor. Warga tiga kabupaten ini termasuk dalam suku Lamaholot. Mereka memiliki bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya yang sama karena diyakini memiliki satu leluhur.
Budayawan Lamaholot, Prof Felisianus Sanga, Selasa (29/5/2018), di Kupang, mengatakan, Koke Bale berasal dari kata koke atau boke yang berarti ’titik pusat’. Bale artinya ’tempat tinggal’, ’rumah’. Koke Bale artinya ’rumah induk, rumah asal, rumah leluhur’. Leluhur atau Kewokot adalah utusan penguasa tertinggi, yakni Lera Wulan (matahari bulan), untuk melindungi tiap-tiap keturunannya.
Bentuk Koke Bale di setiap desa adalah panggung, dilengkapi dengan benda-benda purbakala, peninggalan leluhur, yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Koke Bale biasanya dibangun persis di tengah desa dengan pelataran berukuran 500-1.000 meter persegi. Pelataran ini tempat masyarakat menampilkan pertunjukan tradisional khas Lamaholot, seperti tarian hedung, hamang, dolo-dolo, uah, tandak, dan pencak silat tradisional.
Koke Bale berada di tengah desa karena merupakan cikal bakal lahir manusia pertama di desa itu dan dipercaya sebagai leluhur desa. Dia kemudian berkembang dan keturunannya menyebar ke utara, selatan, timur, dan barat. Setiap warga Lamaholot tahu asal-usul mereka, yang diceritakan dari generasi ke generasi. Mereka paham dari mana asal-usul mereka.
”Koke Bale sebagai jiwa, pusat hidup, nyawa dari semua anggota masyarakat atau suku Lamaholot pada umumnya, khususnya di dalam desa itu. Karena itu, ketika ada upacara adat, di Koke Bale, setiap warga dari desa itu, entah di mana pun mereka berada, turut berkontribusi. Mereka mengirim uang kepada anggota keluarga di desa, belanja hewan persembahan atau sirih pinang bagi leluhur,” kata Sanga.
Menurut Sanga, agama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Katolik yang dianut masyarakat Lamaholot adalah agama impor. Agama asli mereka adalah Kewokot, para leluhur yang berdiam di Koke Bale dan juga rumah tempat tinggal. Kewokot ini dalam keseharian hidup diterjemahkan sebagai orangtua, nenek, kakek, moyang, dan eyang serta leluhur jauh sebelumnya yang dianggap sebagai manusia pertama di desa (suku) itu.
Tanah warisan leluhur sebagai tanah yang diberkati. Segala tumbuh-tumbuhan di tanah itu diyakini punya kekuatan, rahmat dari leluhur untuk anak cucu. Makanan dari tanah itu memiliki kekuatan untuk hidup.
Jika salah satu dari warga desa itu hendak bepergian keluar desa dalam jangka waktu lama, ia mengajak Kewokot mendampingi. Leluhur diajak berjalan di depan, menghalau semua rintangan, agar mereka tidak menghadapi hambatan.
Lebih terkabul
Sanga mengatakan, pengalamannya sebagai warga Lamaholot membuktikan itu. Berdoa kepada leluhur lebih dikabulkan daripada berdoa sesuai agama resmi yang dianut. Tidak heran, banyak warga Lamaholot seakan memiliki dua agama, yakni agama impor dan agama leluhur. Agama asli jauh lebih berpengaruh dalam hidup orang Lamaholot.
Mantan Kepala Desa Lamahala, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur, Daud Umar mengatakan, 5.000 umat Islam di Lamahala tetap percaya kepada leluhur. Hal ini terbukti dengan kehadiran Koke Bale di tengah desa itu. ”Kami memberikan upeti tahunan kepada leluhur di Koke Bale ini. Bahan sesajian yang diberikan berupa hewan kurban yang disiapkan khusus untuk leluhur. Tradisi ini warisan nenek moyang dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Tradisi ini menyatukan kami, warga Lamaholot,” kata Umar.
Hewan kurban untuk setiap rumah adat berbeda-beda. Pada umumnya digunakan ayam jantan, kambing jantan, dan babi jantan. Jenis jantan dipilih sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan. Hewan-hewan ini pun warisan dari leluhur.
Umar mengatakan, kerukunan hidup antara umat Katolik, Islam, dan Kristen di daerah itu berlangsung damai dari generasi ke generasi karena ikatan tradisi leluhur. Melanggar adat berarti melawan kehendak dan pesan persaudaraan leluhur.
Ketua adat Desa Ile Padung, Yohanes Ama Koten, mengatakan, Koke Bale menjadi pusat hidup masyarakat Ile Padung yang berjumlah 1.568 orang.
Warga desa yang sakit menahun, diduga akibat ilmu hitam, dapat didoakan di tempat itu oleh ketua adat. Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pulang kampung, mereka yang berprestasi di perguruan tinggi, sukses bekerja di daerah lain, semua wajib menyerahkan persembahan berupa uang atau hewan korban di rumah adat sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur.
Sebaliknya, Koko Bale juga merupakan tempat untuk penyadaran diri dan berkomitmen hidup lebih baik. Bagi orang yang melanggar adat, berbuat cabul, mencuri, membunuh, atau berbuat kejahatan lain akan mengakui kesalahan di Koke Bale dengan mempersembahkan hewan korban. Ia pun berjanji tidak akan mengulangi lagi.