Perjalanan Predator Invasif Amerika Selatan di Sungai Brantas
SIDOARJO, KOMPAS — Kemunculan ikan berukuran raksasa di daerah aliran Sungai Brantas, Jawa Timur, mencuri perhatian masyarakat. Tidak hanya tertarik menyaksikan langsung, sebagian warga bahkan turut serta menangkap ikan air tawar terbesar di dunia ini. Hasil tangkapan dicincang, dimasak, dan dijadikan santapan bersama.
Laporan terkini, dua ikan tersebut ditemukan di Sungai Rolak Gunungsari, Kota Surabaya, Rabu (4/7/2018). Artinya, ikan itu telah menjelajah sejauh 42 kilometer dalam 10 hari dengan kecenderungan bergerak mengikuti arus sungai yang menuju hilir. Hingga kini, jumlah total ikan yang ditangkap mencapai 18 ekor dan yang masih berada di kolam 30 ekor.
Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya I Muhlin mengatakan, ikan besar di Sungai Brantas itu merupakan Arapaima gigas. Ikan dengan panjang 1,5 meter hingga 2 meter dan berat sekitar 30 kilogram itu berhabitat asli di air tawar di Amerika Selatan. Ikan tersebut merupakan kelompok omnivora yang memakan segalanya dan berkedudukan sebagai predator puncak pada rantai makanan.
”Ikan ini berbahaya apabila dilepas di Sungai Brantas sebab akan memangsa seluruh makhluk hidup habitat asli. Dampaknya, sumber daya perikanan dan ekosistem di Sungai Brantas menjadi rusak, bahkan punah,” ujar Muhlin.
Sejak munculnya informasi tentang keberadaan ikan arapaima di Sungai Brantas, BKIPM Surabaya I langsung mengirimkan tim penyidik ke lapangan. Pengumpulan bahan dan keterangan pun dilakukan untuk mengungkap kronologi keberadaan ikan di sungai yang menjadi nadi kehidupan masyarakat Jatim itu.
Hasil pengumpulan bahan dan keterangan sementara, ikan arapaima itu berasal dari kolam air tawar milik warga berinisial HP yang berlokasi di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Ikan tersebut dilepas ke Sungai Brantas.
Penyidik BKIPM Surabaya I, Hendri Gustriadi, menambahkan, menurut pengakuan pemilik, ikan yang dilepas berjumlah 12 ekor. Ikan dibawa menggunakan kendaraan bak terbuka. Namun, karena jumlahnya banyak dan ukurannya besar, pengangkutan dilakukan tiga kali.
Pemilik mengaku memiliki 42 ikan arapaima yang telah dipelihara selama 7-10 tahun. Ikan-ikan itu dibesarkan di dua kolam, yakni di Mojokerto sebanyak 30 ekor dan di kawasan perumahan di Kecamatan Taman, Sidoarjo, sebanyak 12 ekor. Dengan dilepasnya 12 ekor, berarti tersisa 30 ekor yang saat ini dipelihara di rumahnya dengan pengawasan BKIPM Surabaya I.
Alasan pemilik melepas arapaima ke Sungai Brantas karena kolamnya di Mojokerto akan dibongkar untuk keperluan pendirian bangunan. Adapun tujuan pelepasan di sungai itu tidak lain agar ikan tetap hidup. Pemilik tidak rela apabila ikan yang sudah dipeliharanya itu dibunuh dan dijadikan makanan.
Namun, berdasarkan fakta, jumlah ikan yang ditemukan saat ini mencapai 18 ekor dan diduga masih ada beberapa ekor lagi di dalam sungai. Berdasarkan hasil pengembangan penyelidikan, sebelum melepas 12 ikan arapaima ke Sungai Brantas, pemilik memberikan beberapa ikan kepada teman-temannya untuk dipelihara.
”Informasinya, ada 12 ekor yang diberikan ke orang lain. Kemungkinan, orang lain yang memelihara ini juga melepaskan ke Sungai Brantas. Berapa jumlahnya, belum bisa dipastikan,” ucap Hendri.
Kepada temannya itu, si pemilik berpesan agar ikan tidak dibunuh karena dia telah memeliharanya sejak kecil dan mengeluarkan banyak biaya serta tenaga untuk membesarkannya. Sebagai gambaran, untuk memberi makan 30 ikan diperlukan 50 kilogram ikan air tawar, seperti nila, gurami, dan lele.
Pemberian pakan dilakukan setiap tiga hari sekali. Dengan asumsi HP memiliki total 54 ikan arapaima, dia harus menyediakan 10 kilogram pakan per tiga hari. Harga gurami dan nila rata-rata Rp 40.000 per kilogram di pasar. Artinya, perlu dana Rp 2 juta hingga Rp 4 juta setiap tiga hari untuk memberi makan ikan peliharannya.
”Kebutuhan biaya pakan yang tinggi dan kebutuhan tempat pemeliharaan yang semakin luas diduga menjadi alasan teman-teman si pemilik melepas ikan itu ke sungai,” ucap Hendri.
Posko pengaduan
Munculnya fenomena Arapaima gigas di Sungai Brantas mendorong BKIPM Surabaya I menyosialisasikan Peraturan Menteri KKP Nomor 41 Tahun 2014 tentang larangan pemasukan jenis ikan berbahaya dari luar negeri ke dalam wilayah negara RI. Ada 152 jenis ikan yang dilarang dan Arapaima gigas termasuk salah satunya. Alasannya, membahayakan kelestarian sumber daya ikan, lingkungan, dan manusia.
BKIPM juga membuka posko pengaduan dan pelaporan untuk mendata ulang keberadaan, sebaran, dan populasi ikan-ikan berbahaya di Nusantara. Posko yang dibuka sejak 1 Juli itu diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat, terutama penjual ikan, dan mereka yang memiliki hobi memelihara ikan berbahaya untuk melapor.
”Masyarakat yang mengalami kesulitan memelihara ikan berbahaya bisa menyerahkan kepada petugas di posko. Hal itu untuk mencegah mereka membuang ikannya ke sungai atau tempat lain yang bisa berakibat merusak lingkungan,” ujar Muhlin.
Berdasarkan data BKIPM Surabaya I, hingga Rabu belum ada masyarakat yang melapor, padahal diyakini banyak warga yang memiliki hobi memelihara ikan berbahaya. Laporan yang diterima petugas hanya yang terkait dengan temuan arapaima di sepanjang aliran Sungai Brantas, baik di wilayah hulu, yakni Mojokerto, maupun di hilir, yakni Sidoarjo dan Surabaya.
Dari pasar ikan
Semenjak beredar informasi yang menyebutkan ikan ini berasal dari Amerika Selatan, banyak orang penasaran tentang cerita asal mula arapaima milik HP. Kebanyakan menduga, ikan itu diimpor langsung dari negara asalnya. Tidak ada yang menyangka ikan-ikan raksasa tersebut dibeli dari pedagang ikan yang berjualan di Pasar Ikan Hias Surabaya. Sekitar 7-10 tahun lalu, pasar ikan ini berada di Jalan Irian Barat.
Sekarang, Pasar Ikan Hias itu berada di kawasan Gunungsari dekat dengan Sungai Rolak Gunungsari. Ikan dibeli saat masih berukuran 20-30 sentimeter, dibesarkan dengan cara dipelihara, dirawat, serta diberi makan hingga ukurannya 1,5-2 meter dan berat hingga 30 kilogram.
Direktur Lembaga Konservasi Lahan Basah (ECOTON) Prigi Arisandi mengatakan, pelepasan Araipama gigas di Sungai Brantas harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Masyarakat, dalam hal ini pehobi ikan eksotik, harus memikirkan dampak penyaluran hobi mereka agar tidak merugikan orang lain, apalagi sampai merusak lingkungan.
Adapun pemerintah sebagai regulator juga harus lebih gencar melakukan sosialisasi tentang ikan berbahaya dan mendata ulang keberadaan ikan-ikan eksotik di Nusantara. Selanjutnya, memikirkan upaya pencegahan dan pengawasan untuk mengantisipasi rusaknya ekosistem perairan air tawar, baik di sungai, rawa, maupun danau, akibat pelepasan ikan eksotik yang bersifat invasif oleh masyarakat.
Bebasnya penjualan ikan arapaima di Pasar Ikan Hias menunjukkan longgarnya pengawasan oleh pemerintah dan mandulnya peraturan perundangan, yakni Peraturan Menteri KKP No 41 Tahun 2014. Komitmen penegakan hukum harus diperkuat agar peraturan yang telah dibuat memiliki makna dan bermanfaat.