Klampok Tempo Doeloe, Bangkitkan Tradisi Masa Lalu
Festival Kota Lama dengan tajuk Klampok Tempo Doeloe
di Banjarnegara, Jawa Tengah, berhasil membangkitkan sejarah dan tradisi masa lalu.
Di antara deretan gedung dan rumah tua berarsitektur Belanda, memori sejarah dan tradisi masa lalu kembali dibangkitkan melalui Festival Kota Lama bertajuk Klampok Tempo Doeloe. Gapura dengan desain serupa pintu benteng menyambut pengunjung. Pada lapak beratapkan jerami dijual aneka jajanan tradisional. Di sejumlah sudut, ditampilkan aktivitas membatik, menganyam bambu, membuat perkakas dari besi, serta tarian menyambut panen.
Klampok merupakan salah satu desa di Kecamatan Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada festival ini puluhan remaja berbusana lawas. Ada yang mengenakan beskap, kebaya, dan jarik. Ada pula yang berdandan ala tuan tanah Belanda dengan baju dan celana putih mengilat. Tak lupa ada yang menjinjing bedil bagaikan pejuang kemerdekaan.
Sejumlah alat transportasi zaman old juga turut dipamerkan. Ada deretan sepeda onthel kuno. Ada mobil jip dan mobil klasik merek Plymouth tipe Cambridge P23-1 buatan pabrik Chrysler Corporation, Amerika Serikat, tahun 1951 dengan 6 silinder 3.570 cc. Kendaraan ini sekaligus menjadi spot foto favorit para pengunjung.
Pocong pari
Pada pembukaan festival, Sabtu (28/4/2018), digelar tari menyambut panen yang disebut pocong pari. Enam penari putri mengenakan kebaya. Dengan kain selendang, mereka menari luwes menggendong tenggok atau wadah dari anyaman bambu. Enam penari putra mengenakan kaus putih yang diselimuti lurik. Mereka mengenakan caping, penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu. Beberapa di antaranya membawa cangkul dan lainnya memikul pikulan pari. Pikulan ini terbuat dari bambu dan pada kedua ujungnya diletakkan padi yang diikat menyerupai pocong.
”Dulu belum ada karung untuk membawa padi hasil panen sehingga orang-orang mengikat pari itu dan membawanya ke rumah dengan cara dipikul,” kata Sutejo, Ketua Komunitas The Copok, singkatan dari Community Pemuda Kreatif Desa Kalimandi, Kecamatan Purwareja Klampok yang menampilkan tarian pocong pari.
Selain 12 penari laki-laki dan perempuan, tarian itu juga dimeriahkan empat orang yang mengusung gunungan pari serta seorang berdandan seperti orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah merupakan boneka yang menyerupai orang atau petani dan biasa dipakai untuk menakut-nakuti burung pemangsa padi. Orang-orangan sawah ini tampak compang-camping serta berkalungkan kaleng-kaleng bekas yang biasa dibunyikan untuk mengusir burung.
Tarian pocong pari yang berdurasi 5 menit ini diiringi dengan lagu ”Lesung Jumengglung” yang dilantangkan dari pengeras suara. Para penari dengan lincah dan anggun menarikan serangkaian proses pertanian. Mulai dari mengolah tanah dengan cangkul agar gembur, memberi pupuk, menanam benih padi, memanen dengan ani-ani, hingga memikul padi ke rumah. Kemudian menampi atau membersihkan padi dari kotorannya menggunakan tampah atau wadah anyaman bambu yang berbentuk bundar dan pipih.
https://youtu.be/FdB-r10gOuk
Wujud syukur
Menurut Sutejo, tarian ini mulai langka seiring dengan hilangnya tradisi mimiti yang biasa digelar untuk menyambut panen. Pada ritual mimiti disiapkan pula sejumlah sesajen seperti kelapa muda, jajanan pasar, seperti jipang, kue apem, clorot, dan gethuk, serta bunga 7 rupa, rokok, dan kemenyan. ”Tujuan mimiti sebagai wujud syukur atas panen kepada Sang Pencipta. Dalam tradisi ini juga terkandung nilai kebersamaan, gotong royong, dan keakraban antarwarga,” ujar Sutejo.
Pada sudut lain, tampak sejumlah ibu rumah tangga menganyam bambu. Mereka membuat piti, yaitu semacam wadah dari anyaman bambu yang biasa dipakai untuk membungkus gethuk goreng ataupun nasi beserta lauk-pauknya dalam rangka hajatan. ”Sehari bisa membuat 40 sampai 80 piti. Setelah jadi banyak, lalu diambil oleh pengepul dan dijual ke Sokaraja, Banyumas,” kata Sarinah (60) dari Desa Pagak.
Di sebelahnya, Supin (68) duduk sambil menempa besi yang sudah hampir jadi parang atau arit dalam bahasa Jawa. ”Saya sudah 50 tahun jadi pande besi. Sehari bisa membuat 30 parang dan dijual di Pasar Mandiraja,” kata Supin.
Pada sisi lain, Inah Musfiyatun (58) dari Desa Kalimundi bersama ibu PKK menjual jajanan tradisional yang ditempatkan dalam lodong atau stoples kaca besar berwarna bening. Ia menjual marning, binten jahe, sempeleo, sagon jagung, permen asem, dan sengkarut atau nasi yang dijemur. ”Stoples ini milik nenek. Saya pinjam saja, tapi jajanan ini kami semua yang membuat,” kata Inah yang memiliki enam anak dan tujuh cucu.
Ketua Panitia Festival Kota Lama Ernanto Widyo Hapsoro menyampaikan, festival ini dimeriahkan oleh Ikatan Kakang-Mbakyu Banjarnegara serta warga dari delapan desa, yaitu Desa Klampok, Kaliwinasuh, Kalimandi, Kecitran, Pagak, Sirkandi, Kalilandak, dan Purwareja. ”Festival ini digelar untuk membuka tabir sejarah. Dulu di wilayah ini tidak terjadi peperangan, tetapi tempat ini menjadi pusat ekonomi di mana terdapat pabrik gula Klampok,” kata Ernanto.
Menurut Ernanto, kendati belum termasuk dalam cagar budaya, di Kecamatan Purwaraeja Klampok itu terdapat kurang lebih 200 rumah tua berarsitektur Belanda yang mulai dibangun sekitar 1867. Dari keterangan foto yang dipamerkan di festival ini, pabrik gula yang berdiri pada 1912, kemudian tutup pada 1930 karena krisis.
Ernanto menyampaikan, saat itu masyarakat Indonesia banyak menjadi pekerja di perkebunan tebu serta pabrik gula dengan tuan tanah dan pemilik pabrik gula adalah orang Belanda. Hal itu antara lain berdampak pada karakter warga sekitar yang saat ini relatif perlu disetir dari atasan atau kurang inisiatif. Namun, warga di kecamatan ini menjunjung tinggi sopan santun dan menghargai atasan.
Sekretaris Daerah Kabupaten Banjarnegara Indarto menyampaikan, pemerintah daerah mengapresiasi penyelenggaraan festival yang diinisiasi masyarakat ini. Diharapkan ajang ini dapat terus berkembang dan digelar setiap tahun serta mendukung pariwisata di Banjarnegara. ”Mudah-mudahan festival ini bisa membangkitkan masyarakat di Klampok dan memacu desa lainnya untuk membuat destinasi wisata yang baru,” kata Indarto.