PURBALINGGA, KOMPAS – Produksi gula serbuk kelapa organik atau gula semut di Kabupaten Purbalingga potensial dikembangkan. Selama 2,5 tahun terakhir, CV Navil Natural telah mengekspor gula kelapa organik Purbalingga sebanyak 1.700 ton. Di Purbalingga terdapat 19.853 penderes dengan potensi tanaman perkebunen kelapa seluas 13.723,95 hektar. Namun, kesejahteraan dan keselamatan kerja penderes kelapa masih perlu mendapat perhatian.
“Pada 2016, total pembelian gula semut sebesar 322,2 ton dengan nilai Rp 6,3 miliar. Pada 2017 jumlahnya meningkat signifikan menjadi 828,43 ton dengan nilai Rp 13,86 miliar dan sampai pertengahan tahun ini jumlah pembelian mencapai 650,38 ton dengan nilai Rp 11,632 miliar,” kata Direktur Utama CV Navil Natural Darmawan, Sabtu (23/6/2018) di Desa Campakoah, Mrebet, Purbalingga, Jawa Tengah.
Darmawan menyampaikan, di Purbalingga pihaknya bermitra dengan 756 petani penderes gula kelapa dan di wilayah Cilacap mencapai 206 petani penderes. “Gula yang dibeli dari petani penderes kelap asudah diekspor ke semua benua, mulai dari Amerika, Eropa, Australia, Asia, dan juga Afrika,” katanya.
Gula yang dibeli dari petani penderes kelap asudah diekspor ke semua benua, mulai dari Amerika, Eropa, Australia, Asia, dan juga Afrika
Sairah (40) perajin gula kelapa bersama suaminya Tarso (40) salah satu penderes kelapa di Desa Campakoah, Kecamatan Mrebet, Purbalingga menyampaikan, harga gula kelapa organik atau gula semut saat ini Rp 15.000, sedangkan gula cetak biasa dijual dengan harga Rp 12.500.
“Membuat gula semut lebih lama dan susah, butuh waktu sampai 2 jam. Kalau gula cetak 30 menit sudah jadi,” kata Sairah.
Setiap hari, Tarso menderes 35 pohon kelapa dan dapat memproduksi gula kelapa sekitar 8-9 kilogram per hari. Dengan harga gula semut mencapai Rp 15.000, mereka bisa mendapatkan uang Rp 135.000, dan setelah dipotong dengan biaya kayu bakar Rp 20.000, mereka mendapat pemasukan Rp 115.000 per hari.
“Saya berharap harganya bisa naik sekitar Rp 17.000 sampai Rp 20.000 per kilogram untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,” tutur Sairah.
Kepala Puskesmas Mrebet dokter Rahayu Puji Astuti menyampaikan, kesehatan dan keselamatan kerja para penderes kelapa harus mendapat perhatian karena sampai saat ini masih banyak terjadi kasus penderes kelapa yang jatuh dari pohon dan kemudian lumpuh, bahkan meninggal dunia.
"Pada 2017, dari data di puskesmas kami ada 18 orang penderes yang jatuh dari pohon. Kemudian pada 2018 hingga Mei ini ada 2 penderes yang jatuh," kata Puji.
Puji mengatakan, para penderes jatuh karena berbagai faktor mulai dari licinnya batang pohon saat hujan, tidak adanya alat pengaman untuk penderes, serta faktor pikiran.
"Penderes terlilit utang karena sistem ijon yang dipakai. Sudah tubuhnya capek, beban pikiran juga berat," tuturnya.
Penderes terlilit utang karena sistem ijon yang dipakai. Sudah tubuhnya capek, beban pikiran juga berat
Menurut Puji, penderes yang mengalami lumpuh umumnya jatuh terduduk dari atas pohon kelapa. Kemudian tulang belakangnya patah.
"Mereka yang lumpuh jadi beban keluarga padahal mereka adalah tulang punggung keluarga. Harus dicarikan solusi dan pencegahan agar penderes tidak jatuh apakah ada teknologi tepat guna atau menanam kelapa genjah yang tidak terlalu tinggi," katanya.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga Joko Sagastono menyampaikan, memang belum semua penderes mengikuti program asuransi atau BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu, pihaknya masih berupaya melakukan fasilitasi bantuan untuk diberikan kepada penderes.
Data dari Dinas Pertanian, di Purbalingga terdapat 13 pelaku usaha atau perusahaan itu meliputi PT, CV, UD, dan koperasi yang bergerak di bidang gula serbuk kelapa organik. Dari luas tanaman kelapa yang dideres mencapai 5.380,9 hektar, produksi gula kelapa di Purbalingga mencapai 55.140,67 ton per tahun.
Jumlah itu terdiri dari gula kristal natural atau tidak tersertifikasi organik sebanyak 360 ton per tahun, gula kristal organik dengan produksi 8.882,67 ton per tahun, dan sisanya merupakan gula cetak alami sebanyak 45.898 ton per tahun.