Teater dan Kue yang Menyembuhkan
Para korban letusan Gunung Sinabung harus mengungsi dan meninggalkan ladang sejak gunung meletus pada 2010. Para perempuan korban berhasil menyembuhkan luka batin mereka akibat tercerabut dari sumber kehidupan dengan berteater dan membuat kue.
Kelompok perempuan itu diberi nama Suara Perempuan Sinabung (SPS). ”Kami mengungsi pada tahun 2013 saat putri kedua saya, Desi Ginting, baru satu bulan kuliah jurusan kebidanan di Medan,” kata Lisherlina beru Tarigan (50), anggota SPS warga Desa Sigarang-Garang, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Kamis (31/5/2018).
Anak ketiga Lisherlina, Regina Oktavia Ginting, bahkan selama SMP hingga tamat SMA hidup di pengungsian. ”Saya minta dia kuliah agar bisa mewujudkan cita-citanya menjadi guru. Tak ada lagi harta yang bisa saya wariskan kecuali pendidikan,” ujar Lisherlina.
Lisherlina berjuang memenuhi kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya meskipun kehilangan rumah dan ladang. Ia berusaha menyewa ladang dan mengolahnya agar hasilnya bisa untuk biaya sekolah anak. Ia tidak mau jadi buruh tani.
Kini, Desi sudah tamat kuliah dan bekerja di sebuah klinik di Karo. Sementara Regina masih menunggu pengumuman kelulusan perguruan tinggi negeri.
Usaha itu tidak mudah. Setelah bertahun-tahun hidup di pengungsian, Lisherlina akhirnya bisa mengikhlaskan rumah dan ladangnya, yang selama ini menghidupi, tertimbun abu dan batu. Semua itu terjadi setelah dirinya bergabung dengan SPS.
Ketua SPS Erna Susanti beru Peranginangin (46) mengatakan, Kelompok SPS menjadi wadah bagi para perempuan pengungsi Sinabung untuk saling bercerita dan melepaskan beban.
Kelompok terbentuk setelah ada program penyembuhan trauma pascabencana untuk para pengungsi Sinabung pada pertengahan 2017. Ketika itu, Diakonia Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) mengajak Lena Simanjuntak, seniman teater yang kini menetap di Jerman, bertemu dengan para perempuan di pos pengungsian GBKP Simpang Enam.
Setelah mendengarkan keluh kesahnya, Lena mengajak perempuan pengungsi membentuk kelompok teater. ”Awalnya kami bingung. Bagaimana mungkin para perempuan pengungsi dari desa terpencil bisa bermain teater,” kata Erna. SPS pun terbentuk pada Agustus 2017, beranggota 25 perempuan dari Desa Sigarang-Garang, Sukanalu, dan Berastepu.
Saat itu, Lena meminta mereka menuliskan setiap penderitaan, kesedihan, beban, dan harapan yang masih tersisa sejak bencana letusan Sinabung tahun 2010. Lena lalu membuat naskah drama berdasarkan tulisan itu.
Melalui tulisan itu, mereka mengungkapkan kisah kepanikan saat pertama kali Sinabung meletus, cerita tentang anak yang lahir di pos pengungsian, hingga perkelahian sesama pengungsi selama di pos.
”Saat pertama kali menuliskan penderitaan kami itu, sebagian beban yang selama ini kami pendam mulai lepas,” ujar Erna.
Setelah naskah itu selesai, Lena pun meminta Thompson HS, seniman Sumut, melatih mereka bermain teater di pos pengungsian. ”Ternyata kami bisa memerankan cerita itu dengan penuh penjiwaan karena kisah itu memang benar-benar kami alami dan rasakan. Ketika latihan, kami tertawa, menangis diam-diam, dan terharu sedalam-dalamnya,” kata Erna.
Tampil di panggung
Rustina beru Tarigan (40), anggota SPS dari Desa Sigarang-Garang, mendapat peran untuk menunjukkan bagaimana kepanikan warga saat Sinabung meletus. Ia berlari sambil menutupkan kuali kotor ke kepala anaknya untuk melindungi sang anak dari lontaran batu vulkanis. ”Hanya dengan teater kami bisa menertawakan penderitaan ini,” kata Rustina.
Setelah latihan beberapa bulan, kelompok SPS pun tampil beberapa kali di panggung acara-acara GBKP. Teater itu mampu menyembuhkan trauma mereka dan menumbuhkan semangat untuk memulai lembaran hidup baru. Kreativitas dan semangat mereka terus tumbuh.
Sebelum berteater, kata Rustina, para anggota SPS adalah orang yang sangat sensitif dan gampang marah. Mereka bisa berkelahi dengan sesama pengungsi hanya karena pembagian sabun atau antrean kamar mandi. ”Dari luar kami tampak biasa saja, tetapi jiwa kami rapuh,” katanya.
Meskipun anggota SPS kini tinggal 11 orang, karena banyak ibu tidak bisa meluangkan waktu atau bosan berlatihan teater, mereka tetap bertemu. Mereka memproduksi kue stik.
Saat mereka bertemu, suasana sangat ceria, seperti terlihat dalam pertemuan mereka di sebuah ruangan GBKP Simpang Enam, Kabanjahe, Karo, akhir Mei lalu. Sambil membuat adonan kue, mereka saling bercerita dan tertawa lepas. Tidak tersisa lagi raut penderitaan di wajah para pengungsi itu.
Peralatan membuat kue diperoleh dari modal yang dihimpun GBKP dari perusahaan dan perseorangan. Mereka lalu membeli peralatan dan bahan-bahan untuk membuat kue.
SPS kini rutin membuat kue stik sebanyak 150 bungkus per minggu untuk dijual ke teman, keluarga, dan di gereja-gereja. Harganya Rp 10.000 per bungkus. Hasil kue itu memberi tambahan penghasilan anggota Rp 200.000 per bulan. ”Kalau hanya untuk mengejar uang, kelompok ini sudah lama bubar. Kami terus bertahan karena SPS membawa kami bangkit dari penderitaan,” kata Rustina.
SPS juga tengah mengurus izin edar makanan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar produknya bisa dijajakan di warung dan minimarket.
Ketua Bidang Diakonia GBKP Rosmalia Barus mengatakan, permasalahan pengungsi Sinabung bukan hanya soal bantuan material seperti rumah, ladang, dan makanan, melainkan juga penyembuhan trauma pascabencana. Kegiatan teater dan membuat kue itu telah menyembuhkan trauma anggota SPS meski baru sedikit perempuan yang bergabung.
Hingga kini, Lisherlina bersama pengungsi Sinabung lainnya masih menunggu program relokasi tahap ketiga setelah pos pengungsian ditutup Oktober 2017. Sebanyak 1.038 keluarga pengungsi masih menunggu bantuan hunian tetap dan ladang. Sebelumnya, relokasi tahap pertama telah dilakukan pemerintah terhadap 370 keluarga dan relokasi tahap kedua terhadap 1.682 keluarga.