Para santri di Cirebon, Jawa Barat, mengantar waktu menuju peraduan selama Ramadhan dengan ”belanja” ilmu. Mereka belajar Al Quran, kitab tasawuf, kitab kuning, dan hadis langsung dari para kiai.
Tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun ini dikenal dengan nama ngaji pasaran. Ngaji pasaran artinya mengaji lebih banyak dibandingkan hari biasa. Jika biasanya butuh waktu setahun membaca berbagai kitab, saat Ramadhan bisa jadi hanya setengah bulan. ”Disebut pasaran karena para santri belanja ilmu, sementara kiai masarin ilmu. Kiai membuka ruang untuk ngaji pasaran. Ini berkahnya banyak,” ujar KH Aris Ni’matulloh, pengasuh Buntet Pesantren, Cirebon.
Di Buntet Pesantren, Cirebon, tradisi tersebut berjalan sejak pesantren didirikan tahun 1750 (versi lain menyebutkan 1785). Senin (4/6/2018) sore, puluhan santri mengaji di rumah Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren KH Adib Rofiuddin.
Suara Adib menyeruak melalui pengeras suara untuk menjangkau para santri yang duduk melantai hingga ke halaman rumah. Selain membaca hadis dalam bahasa Arab, Adib juga menafsirkannya.
Keuntungan dari ngaji pasaran luar biasa. Sebab, para santri bisa khatam membaca Al Quran dan hadis dalam setengah bulan dari subuh hingga ujung malam. Di luar Ramadhan, biasanya butuh waktu hingga setahun di tengah beragam kesibukan.
Akan tetapi, tak seperti pasar pada umumnya, tidak ada kegiatan jual beli melibatkan rupiah dalam tradisi ini. Semuanya dilakukan ikhlas tanpa pungutan biaya. Tradisi ini lazim dilakukan pesantren di tanah Jawa. Aris mengenang, pada 1980-an, ia ke Jawa Tengah ikut ngaji pasaran kepada KH Maimun Zubair.
Di Buntet, ngaji pasaran hingga kini masih dinantikan. Lantunan ayat suci Al Quran dari 3.700 santri yang tersebar di 54 pondok pesantren terdengar di Buntet. Malam hari tak lagi sunyi. Para santri mengambil ilmu dari para kiai. Semua pengasuh pondok pesantren pun ikut ngaji pasaran. Biasanya tradisi ini dilakukan hingga hari ke-20 Ramadhan, tergantung banyaknya kitab yang dibaca.
”Dulu, kalau Ramadhan biasanya jalan-jalan saja sama teman, tetapi sekarang ikut ngaji pasaran. Puasa enggak terasa,” ujar Miftahus Salam (16), santri Pondok Pesantren Al-Khoir di Buntet. Ini tahun pertama anak petani bawang merah itu ikut pesantren.
”Yang paling saya ingat dari ngaji pasaran adalah kitab Ayyuhal Walad karya Imam al-Ghazali. Nasihatnya, manusia harus istikamah dan ikhlas,” ujar warga Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ini dengan semangat.
Pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Masriyah Amva mengatakan, ngaji pasaran juga dimanfaatkan para santri untuk mendalami kitab kuning, sebutan untuk buku-buku agama Islam berbahasa Arab gundul. ”Jadi, sebelum santri mudik, mereka menuntut ilmu dalam ngaji pasaran,” ujar Masriyah yang memimpin sekitar 1.000 santri.
Ramadhan adalah momentum untuk memperbaiki diri. Seperti salah satu pesan ngaji pasaran sore itu, caranya antara lain dengan berzikir dan mengaji, bukan membicarakan keburukan orang lain. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)